1. CALEG DPR RI DAPIL 5 JAWA TIMUR NO. URUT 2

2. Ketua Lembaga Kajian Ekonomi Sosial (LKES) Cabang Malang Raya.

3. Ketua Monitoring Untuk Pemerintahan Bersih (MUPB) Cabang Malang Raya.

4. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) Cabang Malang Raya.

Selasa, 12 November 2013

Gerakan Membangun Masyarakat Madani Indonesia

Gerakan membangun masyarakat madani Indonesia adalah sebuah pilihan tepat untuk menjadikan bangsa dan negara ini benar-benar segera meraih cita-citanya. Konsep “Masyarakat Madani Indonesia” ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bangsa Indonesia telah memiliki dan melaksanakan konsep itu. Konsep tersebut merupakan buah pemikiran para pendiri bangsa yang terdiri atas para tokoh dari berbagai kalangan yang cukup representatif mewakili semua elemen bangsa.
Istilah “Madani”dalam konsep ini, sebenarnya sudah diimplementasikan pada 14 abad yang lalu di Madinah, kota yang dipimpin oleh seorang utusan Tuhan, yaitu Nabi Muhammad saw. Hasilnya sangat mengagumkan. Hanya dalam tempo 10 tahun, masyarakat Madinah berubah secara dramatis menjadi masyarakat yang adil, makmur, dan damai. Keberhasilan itu diakui oleh berbagai kalangan, hingga bekas-bekasnya masih bisa dirasakan sampai sekarang ini.
Konsep keberhasilan pembangunan masyarakat Madinah masih bisa dipelajari hingga detail-detailnya. Berbagai dokumen yang menunjukkan tentang bagaimana konsep dan cara mengimplementasikannya masih cukup tersedia. Keunggulan bangsa Arab dalam menghafal dan menyimpan informasi dari generasi ke generasi merupakan kekuatan dan keuntungan tersendiri hingga jejak-jejak sejarah itu tidak hilang.
Melalui dokumen sejarah yang terpelihara itu, maka dapat dipelajari dan disimpulkan bagaimana membangun bangsa dan negara yang adil, makmur,  dan sejahtera  dalam perspektif manusia dan masyarakat yang utuh, yaitu selalu mengedepankan religiousitas, egaliter, demokrastis, kebersamaan, mengutamakan keadilan,  dan saling menghargai dan menghormati sesama. Uraian berikut adalah gambaran masyarakat Madani dan pintu-pintu strategis yang harus dilalui untuk mewujudkannya. 

 Keindahan Masyarakat Madinah 
 Akhir-akhir ini, tuntutan agar bangsa ini segera berubah mulai semakin keras disuarakan. Perubahan yang dimaksudkan adalah kearah yang lebih adil, makmur dan sejahtera. Sudah sekian lama bangsa ini merdeka, tetapi keadaannya belum sebagaimana yang dicita-citakan. Kemiskinan, pengangguran, ketidak-adilan, kesenjangan dan lain-lain, masih dirasakan oleh banyak orang di negeri ini. Akibatnya, perasaan memiliki dan berdaulat belum sepenuhnya dirasakan. 
Bukti kegagalan itu sebenarnya cukup banyak. Misalnya, kekayaan alam berupa tambang, hasil hutan, perdagangan dan lain-lain, semakin dikuasai asing. Bangsa sendiri tetap menjadi buruh, dan bahkan harus pergi ke luar negeri mencari kerja. Itulah sebabnya, mereka ingin berubah agar bisa hidup dan menikmati kekayaan tanah kelahirannya sendiri. Namun gambaran seperti apa, yang dimaksudkan sebagai kehidupan ideal yang diinginkan itu? Rupanya perlu contoh yang tepat.
Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, masyarakat Madinah adalah contoh paling ideal. Siapapun mengakui hal itu. Negara yang dibangun oleh Rasulullah, dalam waktu yang tidak terlalu lama, yakni hanya 10 tahun menjadi maju, damai, tenteram dan sejahtera. Sekalipun masyarakatnya majemuk, terdiri atas kaum muhajirin dan kaum anshar, dan bahkan ada pula yang Nasrani dan Yahudi, tetapi semuanya bisa hidup rukun dan damai. Kehidupan dibangun atas dasar saling memahami, menghargai, merasakan kebersamaan, dan bahkan juga berbagi kasih sayang. 
Semula kota itu bernama Yatsrib, kemudian diubah oleh Nabi dengan nama yang lebih indah, menjadi Madinah. Penyebutan nama “Madinah” ini berlanjut hingga sekarang. Sedemikian indah terbayang oleh siapapun terhadap gambaran kota itu, sehingga nama “Madinah” disebut sebagai kota dan masyarakat ideal. Beberapa tahun terakhir, orang tatkala mencita-citakan masyarakat ideal selalu menyebut istilah “Masyarakat Madani”. Sebutan itu anehnya, sekalipun diambil dari negeri Arab, ternyata disukai banyak kalangan, apapun latar belakang agama, etnis, pendidikan, dan asal muasalnya.
 Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi hanya dalam kurun 10 tahun adalah masyarakat yang besar semangat persatuannya dan kasih sayangnya antar sesama.Orang-orang Anshar sebagai penduduk Yatsrib asli menerima dengan gembira kedatangan kaum Muhajirin yang datang dari Makkah bersama Nabi. Semua anggota masyarakat yang berbeda sekalipun dipersatukan atas dasar keimanan, kebutuhan bekerjasama, dan akhlak mulia.Berbekalkan kejujuran, kebersamaan, kasih sayang, suasana adil dan lain-lain, maka menghasilkan tatanan kehidupan sosial yang ideal itu. 
Semangat bersatu dan hubungan-hubungan kasih sayang itu ternyata melahirkan tatanan kehidupan yang tentram, adil, saling menghargai dan menjaga, sehingga kesejahteraan lahir dan batin berhasil diraih. Kedamaian masyarakat Madinah yang dibangun oleh Rasulullah sejak 14 abad yang lalu, sekarang ini bekas-bekasnya masih dengan mudah terasakan. Suatu saat, saya berbelanja di kota itu. Ada sesuatu yang saya khawatirkan akanhilang karena banyaknya orang. Pada saat berbelanja itu, seorang penduduk Madinah yang mengerti kegundahan saya mengatakan, “Jangan khawatir! Anda sedang berada di Madinatul Munawwarah”, yaitu kota yang dipenuhi cahaya kebenaran.  
Mempersatukan dan menebar Kasih Sayang Kepada Semua Bagi masyarakat Madinah, bersatu merupakan keindahan dan sangat diidolakan.Bersatu dan bersama dijadikan landasan utama untuk maju, adil, makmur dan sejahtera. Apapun keadaannya harus bersatu. Bahkan untuk membangun persatuan itu, selain dilakukan dengan pendekatan personal, kelompok, juga dilakukan secara resmiyang dijalinmelaluiperjanjian secara formal. Kita mengetahui bahwa ketika itu Nabi bersama masyarakat Nasrani dan Yahudi menandatangani naskah perjanjian yang disebut “Piagam Madinah”.Dengan perjanjian itu semua merasa memiliki hak yang sama dan tidak saling dirugikan.  Kasih sayang pemimpin yang dilakukan dan dicontohkan oleh Nabi sendiri tidak membedakan kepada siapapun. Nabi sebagai pemimpin tidak mengutamakan orang-orang dekat, keluarga, atau sekelompok agamanya. Bahkan dalam membangun keadilan, Nabi pernah bersabda, “Umpama Fathimah (putri nabi) mencuri, maka aku (Nabi) sendiri yang akan memotong tangannya”. Hak-hak dan kedaulatan pribadi bagi semua orang, diakui, dihormatidan dihargai.Kepada siapapun yang perlu dibantu, tidak perlu ditanya tentang siapa dan dari mana asal muasalnya. 
Selain jujur, contoh keindahan lainnya adalah kepedulian terhadap orang miskin. Ternyata Nabi, sekalipun juga menjadi kepala pemerintahan, masih punya kesibukan pribadi yang secara diam-diam dilakukan, yaitu memberi makan orang buta yang biasa mangkal di pinggir pasar. Tanpa diberi sesuatu, orang ini tidak akan bisa hidup, karena tidak bekerja dan juga tidak memiliki apa-apa. Bahkan, kasih sayang Nabi itu tidak saja berupa kesediaan  mengantar makanan, melainkan juga menyuapkan makanan itu kepadanya.
Orang buta itu itu rupanya juga sadar bahwa posisinya adalah sedang ditolong dan seharusnya membalas kebaikan itu dengan berterima kasih. Oleh karena tidak memiliki apa-apa, ia membalas dengan nasehat yang diulang-ulang setiap disuapi. Nasehatnya itu adalah agar tidak dekat-dekat dengan orang jelek bernama Muhammad yang selalu mengaku-ngaku sebagai nabi. Atas nesehat itu Nabi tidak marah, dan juga tidak berhenti dari kegiatan menyuapinya sehari-hari. Nabi juga tidak pernah memberi tahu bahwa ia adalah bernama Muhammad yang disebut jelek itu.
Apa yang dilakukan oleh Nabi,  yaitu mengantar makanan dan menyuapkannya secara halus dengan kasih sayang itu tidak diketahui, termasuk oleh orang buta itu. Ia baru tahu bahwa orang yang selalu menyuapi dirinya itu adalah orang yang selalu disebut-sebut sebagai orang jelek dan mengaku-ngaku nabi bernama Muhammad saw.,justru dari Abubakar, sahabat nabi yang menggantikan peran mengantar dan menyuapi makanansetelah Nabi meninggal dunia.Tentu saja, orang buta itu menyesal sejadi-jadinya dan akhirnya bersyahadat.Kisah ini menggambarkan bahwa pemimpin itu sedemikian sabar, ikhlas, kasih sayang, halus, dekat, dan kepada siapapun.
 Mendekatkan Umat pada Tempat Ibadah  dan  Membangun Tradisi Ilmu 
Selain mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar, serta membuat perjanjian dengan kelompok Nasrani dan Yahudi, Nabi Muhammad membangun masjid. Masjid Quba’ adalah yang dibangun pertama kali oleh Nabi. Lewat sarana tempat ibadah, maka umat dengan mudah terkonsolidasi dan terkoordinasi. Masjid selain untuk menjalankan kegiatan ritual, juga untuk mempersatukan, dan bahkan untuk memperkaya ilmu pengetahuan bagi umat Islam.
Nabi memang tidak bisa membaca. Dalam al-Qur’an, Nabi disebut sebagai seorang ummi, yaitu tidak bisa membaca dan menulis, tetapi beliau sangat menghargai tulis baca. Para tawanan perang dipekerjakan untuk memberantas buta aksara. Kelemahan di bidang tulis baca itulah yang tidak boleh ditiru oleh umatnya. Tentu manakala mau, sekedar kemampuan menulis dan membaca, akandengan mudah dikuasai oleh Nabi. Akan tetapi, ada sesuatu rahasia atau kegunaan dari kelemahan Nabi dalam soal baca tulis tersebut.
Sehari semalam, Nabi selalu bertemu umatnya di masjid hingga setidaknya lima kali. Menurut riwayat, Nabi tidak pernah shalat lima waktu di tempat lain kecuali di masjid dan itu selalu dilakukan dengan berjama’ah. Pemimpin dan umatnya sehari-hari dipersatukan oleh kegiatan ritual, ilmu dalam bentuk wahyu, dan lain-lain.Pemimpin dalam hal ini adalah Nabi selalu  diikuti ucapannya, sekaligus juga perilaku dan tindakannya. Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin benar-benar menyatu. Itulah sebabnya, umat Islam diumpamakan bagaikan satu bangunan, di antara bagian-bagiannya saling memperkukuh. 
 Pada saat itu, ilmu pengetahuan dan teknologi belum semaju sekarang. Akan tetapi, semangat mencari ilmu sudah digelorakan oleh Nabi sendiri. Al-Qur’an menjelaskan bahwa “Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajad”. Juga dikatakan oleh Nabi bahwa  “Mencari ilmu itu wajib bagi kaum muslimin dan muslimat dari ayunan hingga masuk liang lahat”. Dan juga disabdakan, “Carilah ilmu hingga sampai ke negeri China”. Semangat mencari ilmu pengetahuan digelorakan oleh Nabi sendiri. Nabi selalu memberikan penghargaan lebih kepada orang-orang yang kaya ilmu. Ali bin Abu Thalib, seorang sahabat Nabi, sekalipun masih muda, dipercaya menjadi pemimpin, oleh karena dipandang memiliki kecerdasan lebih dibanding sahabat lainnya.   
Bimbingan Bertani dan Berniaga 
Nabi sudah sangat peduli pada persoalan ekonomi untuk menyangga kehidupan sehari-hari.Pertanian dan perniagaan dikembangkan oleh Nabi. Madinah merupakan tanah subur, sehingga cocok untuk pertanian.Setelah keadaan aman, oleh karena tidak lagi mendapat ancaman dari kaum Quraisy dari Makkah, Nabi mulai mengajak kaum Anshar dan kaum Muhajirin membuka tanah pertanian secara bersama-sama. Lewat pertanian itu, masyarakat Madinah menjadi makmur. Kurma yang paling berkualitas adalah berasal dari Madinah. Sampai sekarang ini terkenal “kurma nabi” yang harganya juga paling mahal.
Banyak hadits Nabi yang menjelaskan tentang usaha bersama yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dalam menjalankan usaha pertanian yang dipentingkan adalah kebersamaan, kerja keras dan kejujuran. Hal menarik dalam kerjasama, Nabi memberikan tuntunan bahwa dalam soal membagi hasil, siapa yang bertugas membagi harus mengambil yang terakhir. Strategi ini ditempuh agar rasa keadilan benar-benar diterapkan dan dirasakan oleh semua pihak. Semua pihak dipersilahkan menjadi pembagi, asalkan mau mengambil bagian terakhir.
Dalam hal perniagaan Nabi memiliki pengalaman banyak. Sejak muda, sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad sudah membantu Khadijah, seorang wanita pedagang besar,berdagang hingga ke negeri Syam. Atas dasar pengalamannya yang panjang itu, banyak ahli sejarah menyebut, Muhammad selain sebagai Rasul juga sebagai pedagang tangguh. Tentu dalam berdagang hal yang sangat dikenal adalah kejujurannya. Nabi dalam berdagang jujur terhadap siapapun. 
Terkait dengan perniagaan, ada kisah yang sangat menarik. Pada zaman Nabi, pasar sudah diatur persis seperti pasar modern sekarang ini. Para penjual buah-buahan seperti kurma, kacang-kacangan, sayuran, dan lain-lain disatukan dalam satu lokasi. Demikian pula jenis dagangan lainnya, misalnya pakaian, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Dalam perniagaan, sama dengan pertanian, dikembangkan kepedulian sosial yang sangat mendalam.
Pada suatu saat, seorang pembeli datang kepada penjual dagangan di pasar.Sebagaimana yang diajarkan oleh nabi, pedagang berusaha menjelaskan ciri-ciri barang yang dijual secara jujur,jelas, dan juga harganya masing-masing. Dalam Islam, tidak dibolehkan menyembunyikan cacat dari barang yang diperdagangkan. Hal itu dimaksudkan agar jual beli tidak melahirkan penyesalan dan mengganggu keikhlasan.
Pernah terjadi kasus jual beli, tatkala seorang calon pembeli sudah menyenangi dan menyepakati harga barang yang diinginkan, maka calon pembeli menyampaikan niatnya untuk membeli barang yang dimaksud. Anehnya, penjual justru menyarankan agar yang bersangkutan membeli saja kepada penjual barang yang samadi bagian sebelah. Pedagang itu menjamin bahwa jenis, harga, dan kualitas barang di toko sebelah itu adalah sama. Penjual itu mengatakan bahwa sehari itu, barang-barangnya sudah laku dan sudah mendapatkan keuntungan yang cukup, sementara penjual di sebelahnya belum ada satupun yang membeli. Dikatakan, bahwa penjual di toko bagian sebelah perlu pembeli.
Gambaran yang terjadi di dalam perilaku bisnis di kota Madinah semasa Nabi masih hidup tersebut menunjukkan betapa keindahan yang luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam perdagangan pun terdapat kebersamaan dan kepedulian yang diajarkan oleh Nabi. Mencari rizki boleh bersaing, tetapi harus mempedulikan kehidupan orang lain. Nabi mengajarkan bahwa tidak sempurna iman seseorang tatkala belum sanggup mencintai orang lainsebagaimana mencintai dirinya sendiri. Nilai-nilai luhur itu ternyata juga dijalankan dalam kehidupan berdagang, bertani, dan lain-lain.
Demikian itulah akhlakul karimah yang dikembangkan oleh Nabi sebagai utusan Allah. Nilai-nilai mulia itu bisa dilaksanakan di dalam berbisnis, manakala pasar juga diatur sedemikian rupa. Sebagaimana dikemukakan, para pedagang tatkala berjualan telah dikelompok-kelompokkan sesuai dengan jenisnya, sehingga pembeli bisa memilih barang dengan leluasa dan bahkan bisa bekerjasama.Artinya pada saat itu, Nabi sudah mengatur pasar.Akan tetapi, aturan itu dibuat bukan agar sebagian untung dan yang lain rugi, melainkan agar semua saling ta’awun atau tolong-menolong antar sesama.
 Kemungkinan Me-Madinah-kan Indonesia  
Me-Madinah-kan Indonesia tidak perlu diartikan membawa budaya Arab ke Indonesia. Berbeda antara budaya Arab dengan budaya Madinah yang dibangun oleh Nabi. Nabi mengajarkan tentang kejujuran, kebersamaan, keikhlasan menerima dan menghargai terhadap siapapun, menebarkan kasih sayang, dan mengajak bekerjasama mengatasi problem-problem kehidupan, baik secara individu maupun secara bersama-sama. 
  
Semua nilai-nilai tersebut sebenarnya adalah bersifat universal. Akan tetapi, pada tataran implementasi, nilai-nilai itu belum dijalankan, atau bahkan sulit dijalankan. Nabi menjalankan konsep itu bersama para sahabatnya. Kuncinya adalah kejujuran, ketulusan, keikhlasan yang lalu melahirkan ketaatan dan kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya. Para pemimpinhendaknya dicintai melebihi cintanya terhadap orang lain dan bahkan terhadap dirinya sendiri.   
Apa yang dilakukan oleh Nabi mestinya bisa dilakukan oleh siapapun di tempat dan pada waktu yang lain. Posisi Utusan Tuhan itu adalah sebagai contoh atau tauladan, sehingga seharusnya dicontoh dan ditauladani, tidak terkecuali oleh bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah majemuk, mayoritas muslim, terdiri atas berbagai etnis, adat istiadat, agama, dan lain-lain, tetapi bersatu. Gambaran itu seperti yang terjadi dulu di Madinah. Jargon yang dimiliki sedemikian indah, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Artinya sekalipun berbeda-beda tetapi tetap satu, ialah bangsa Indonesia. 
 Namun sayangnya, tidak sebagaimana terjadi di Madinah tempo dulu, persatuan di negeri ini ternyata masih semu sehingga belum melahirkan kesejahteraan bagi semua. Artinya, persatuan itu belum nyata dan kuat, hingga masih perlu ditumbuh-kembangkan dan dipupuk kembali dalam berbagai aspeknya, baik aspek ekonomi, politik, pendidikan, dan juga budaya. Pada aspek ekonomi, bangsa ini masih bercerai berai. Hutan misalnya, digunduli oleh segelintir orang, padahal kemudian akibatnya terjadi banjir yang harus ditanggung oleh semua. 
Masih dalam bidang ekonomi, yaitu di dalam perdagangan, bangsa ini masih terjajah. Kita lihat misalnya, bahwa apa saja masih diperoleh lewat import. Komuditas yang semestinya diproduk sendiri, seperti beras, jagung, kedelai, susu, terigu, dan bahkan garam, semuanya masih mendatangkan dari luar negeri. Bangsa ini diajak oleh para pemimpinnya sekedar menjadi pembeli, bukan  sebaliknya, yaitu sebagai penjual. Nabi Muhammad mengajak kaum Muhajirin dan Anshar, serta masyarakat lainnya menjadi produsen dan bukan sekedar konsumen. Daerah Khaibar yang sedemikian luas dijadikan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan semua rakyatnya.
Perdagangan sebagai bagian strategis dari kegiatan ekonomi di Indonesia masih timpang. Para pemilik modal dan teknologi diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk berusaha. Sementara itu, rakyat yang tidak bermodal dan tidak memiliki ketrampilan dibiarkan bersaing dengan para pemodal itu. Atas kebijakan itu, tambang, hutan, dan berbagai potensi lain dikuasai hanya oleh sebagian kecil rakyat Indonesia, sementara lainnya, menjadi buruh dan menganggur. Tampak dari aspek ekonomi, bangsa ini belum memiliki kedaulatan yang sebenarnya. Sementara itu, pendidikan belum menyelesaikan masalah pengangguran dan bahkan sebaliknya, justru pada setiap tahun menambah persoalan itu.
Rakyat Indonesia masih menjadi buruh di negerinya sendiri.Lebih ironis lagi, sekedar peluang menjadi buruh pun juga terbatas, hingga akibatnya tidak sedikit TKI yang harus hengkang, mencari pekerjaan ke negeri orang. Nabi mengatur masyarakat Madinah hingga semua merasa diperlakukan secara adil. Nabi dalam hal-hal tertentu ikut mengatur secara langsung agar semua orang merasa diperlakukan secara sama.
  Keadaan ekonomi bangsa yang belum menyenangkan ini, sebenarnya masih bisa diubah atau diperbaiki, asalkan semua pihak mau dan bersedia mencontoh apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw dalam membangun masyarakat Madinah. Kata kunci keberhasilan itu adalah pemimpinnya harus sanggup mencintai dan dicintai, semua harus memiliki komitmen dan integritas yang tinggi terhadap bangsanya, memiliki jiwa patriot dan nasionalisme yang tinggi, peduli terhadap semua, ada kesediaan untuk bersatu, mau menghargai sesama, dan tentu sanggup bekerjasama, berjuang dan dikuti oleh kesediaan berkorban. Selain kelemahan di bidang ekonomi, persatuan bangsa ternyata juga belum terlalu kokoh. Persatuan yang dihasilkan baru berada di tataran permukaan. Banyak hal yang dijalankan hanya pada tataran semu, formalitas, seolah-olah, dan tidak sepenuh hati. Ada dua wilayah yang seringkali tidak sejalan, yaitu wilayah lahir dan wilayah batin, wilayah yang diucapkan dan wilayah yang dijalankan, keduanya kadang kontradiktif. Nabi mengajarkan agar suasana paradog itu dihilangkan. Nabi mengajarkan bahwa antara yang dipikirkan, dirasakan dan dijalankan, menyatu dan benar-benar padu. Bahkan dinyatakan bahwa aktifitas harus sejalan dengan niatnya.  
Dokumen tentang Cita-cita Bangsa 
Bangsa Indonesia sudah lama ingin maju, berkembang, unggul, dan jaya sebagaimana bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Cita-cita itu sebenarnya tidak saja masih berada di angan-angan, melainkan sudah dituangkan di dalam dokumen resmi. Pancasila, UUD 1945, dan banyak dukumen lainnya telah merumuskan dengan baik cita-cita tersebut. Menurut dokumen itu, bangsa Indonesia menginginkan menjadi bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusaiaan yang adil dan beradab, bersatu, dan membangun kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan perwakilan serta menginginkan agar terbangun suasana keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Sedemikian indah cita-cita itu, tetapi sekalipun kemerdekaan sudah diraih sejak 67 tahun yang lalu, keadaan bangsa ini belum menggembirakan. Benar bahwa sudah banyak rakyat yang berhasil mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Lembaga pendidikan sudah menyebar,tidak saja di kota-kota besar, tetapi hingga di kota-kota kecil sudah tersedia sekolah menengah, dan bahkan perguruan tinggi negeri dan swasta.Selain itu, partisipasi masyarakat terhadap pendidikan juga luar biasa besarnya.Organisasi sosial dan juga keagamaan  berpacu ikut serta membangun pendidikan hingga dari aspek jumlah keberadaan lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, sudah melebihi negara manapun di dunia. 
Begitu juga untuk membangun masyarakat beragama, sudah puluhan ribu tempat ibadah berhasil didirikan oleh masyarakat sendiri. Jumlah masjid, gereja, pura, vihara, klenteng telah ada di mana-mana. Hampir-hampir tidak ada di suatu daerah yang kekurangan masjid, gereja dan atau jenis tempat ibadah agama lainnya. Semangat masyarakat yang sedemikianbesar dalam membangun tempat ibadah menjadikan pemerintrah justru kadang dibuat repot. Kerepotan itu bukan dalam hal menyediakan dana untuk membangunnya, melainkan tatkala harus mengatur agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di tengah masyarakat. Sehingga, sekalipun negara menganut paham Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk membangun tempat ibadah tidak memerlukan campur tangan pemerintah.
Cita-cita bangsa Indonesia yang sudah sedemikian jelas, indah dan begitu pula partisipasi masyarakat yang sedemikian tinggi, namun ternyata belum menjamin rakyat segera menjadi makmur dan sejahtera. Secara politik,kepemimpinan telah dipilih lewat cara-cara demokratis, birokrasi telah disusun secara profesional, upaya-upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi telah dilakukan secara maksimal, tetapi  ternyata rakyat yang miskin masih banyak jumlahnya, lapangan pekerjaan masih terbatas, kesenjangan sosial masih lebar, dan pengangguran masih banyak jumlahnya. Gambaran lain yang memprihatinkan adalah besarnya jumlah migrasi berpendidikan rendah tanpa ketrampilan ke luar negeri. Mereka ituhanya sekedar mendapatkan upah yang cukup untuk menyambung hidup.
 Demikian pula, usaha kecil di dalam negeri, semakin dikalahkan oleh pengusaha bermodal besar, padat teknologi, dan mendapat fasilitas dari pemerintah.Kita lihat Alfamart, Indomaret, Carrefour, dan lain-lain bermunculan di hampir semua tempat.Akibatnya, usaha kecil sebagai penyangga ekonomi rakyat banyak yang mati.Mereka menjadi kehilangan lapangan usaha sehingga menambah angka pengangguran.Artinya, pemberdayaan masyarakat secara ekonomi belum mendapatkan perhatian. Masyarakat belum memiliki kedaulatan di negerinya sendiri. Penjajahan ekonomi oleh kelompok dan orang-orangtertentu merupakan penindasan dan merampas hak hidup pemilik negeri ini yang sebenarnya. 
Oleh karena itu, manakala semua pihak mau jujur, kelemahan bangsa Indonesia ini adalah pada tataran implementasi.Menyusun cita-cita, undang-undang, peraturan, dan sejenisnya sudah sedemikian jelas, tetapi hal itu belum diimplementasikan atau dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan benar. Kelemahan itu sebenarnya bisa diatasi manakala bangsa ini bisa bersatu. Umat Islam seharusnya bersatu, apapun madzhab, aliran, organisasi, dan asal muasalnya. Persatuan hendaknya dijadikan cita-cita, idaman, dan muara dari semua perjuangan.

 Menjadikan Madinah sebagai Paradigma dalam Membangun Bangsa 
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, plural atau majemuk, sedang menjalankan sistem demokrasi, menghargai Hak-Hak Azasi Manusia, menjunjung tinggi kemerdekaan bagi semua orang, maka sebenarnya paradigma Madinah adalah sangat tepat dikembangkan dan diimplementasikan di negeri ini. Menggunakan paradigma Madinah bukan berarti mundur atau mengembalikan jarum jam sejarah. Sebab pada hakekatnya negara yang dibangun oleh Nabi Muhammad adalah tatanan kehidupan yang amat modern.
Selain itu, untuk mengimplementasikan paradigma Madinah bagi bangsa Indonesia tidak akan mengalami kesulitan. Berbagai pilar yang terkait dengan filosofi bangsa yang dibangun, konstitusi kenegaraan, dan pandangan hidup yang dikembangkan, sebenarnya sudah tersedia. Pancasila,UUD 1945, Konsep NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang selama ini dijadikan sebagai pilar-pilar bangsa sudah tergambar dalam konsep masyarakat Madinah. Kesamaan lain yang ingin dikembangkan oleh bangsa Indonesia dengan Masyarakat Madinah adalah menyangkut visi pembangunan bangsa. Kemajuan bangsa bukan saja diukur dari aspek-aspek fisik, melainkan juga aspek-aspek yang terdalam dari kehidupan manusia, yaitu aspek spiritual, intelektual, profesional dan akhlak secara utuh atau holistik.
Kegagalan, kalau boleh dikatakan seperti itu, dari bangsa Indonesia bukan pada tataran teoritik, konsep, paradigma, atau dasar-dasar yang dijadikan landasan untuk membangun bangsa, melainkan pada tataran implementatif. Semua orang meyakini dan mengagumi betapa luhur dan mulia cita-cita bangsa, baik yang bisa dipahami dari falsafah bangsa Indonesia, ialah Pancasila, maupun dari cita-cita yang lebih operasional  yang tertuang dalam UUD 1945. Demikian pula, sistem pemerintahan dan kelembagaan negara, semua sudah sempurna. Bangsa ini sebenarnya tidak perlu lagi menyusun konsep atau bahkan falsafah baru yang akan diterapkan. Semboyan yang disuarakan dari semua kalangan sudah tegas, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah merupakan harga mati yang tidak boleh diubah-ubah.
Untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini yang masih sangat perlu dibenahi, sekali lagi, adalah pada tataran implementasi. Sebagai bangsa yang religius, semestinya  sangat tepat manakala masyarakatnya didekatkan kepada kitab suci agama masing-masing, tempat ibadah yang bersangkutan, dan juga tokoh ideal yang menjadi panutannya. Kelemahan selama ini, sebagai bangsa yang mengaku religius ternyatamasih menjauh dari agamanya.Padahal pada masing-masing ajaran agama itu terdapat nilai luhur yang sangat tepat dijadikan pedoman hidup sepenuhnya.
Selanjutnya, sebagai bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, persatuan dan keadilan, ternyata dalam praktek masih selalu terabaikan. Sedemikian mudah ditemui kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya. Pada lautan kemiskinan terdapat beberapa orang atau kelompok yang memiliki akses ekonomi yang tidak terukur banyaknya. Di tengah-tengah negara yang masih disebut miskin dan tertinggal, tetapi memiliki beberapa orang masuk kategori terkaya di dunia. Hal ini sangat ironis.Kenyataan itu menunjukkan bahwa negeri ini belum berhasil membangun kemanusiaan, keadilan dan kebersamaan yang menjadi cita-cita bangsa ini.
Demikian pula, keadilan masih menjadi barang langka di negeri ini. Masyarakat kecil, seperti orang yang sekedar mengambil semangka, setandan pisang, beberapa biji kakau, dan bahkan pengambil sandal jepit harus dijerat hukum, sementara itu orang-orang kaya dan berkuasa tatkala terkena kasus hukum, justru diabaikan.Mereka bisa bebas hanya karena memiliki uang. Keadilan di negeri ini belum berhasil ditegakkan. Belum lagi persoalan nepotisme, kolusi, dan korupsi, semua itu seolah-olah menjadi sesuatu yang lazim. Moral dan akhlak para pemimpin bangsa di berbagai bagian dan level terdegradasi hingga batas yang sudah tidak boleh  ditoleransi.
Konsep masyarakat Madinah yang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi, kejujuran, keadilan, amanah, kasih sayang, saling menghargai bagi semua, dan pembagian informasi secara adil, semestinya dijadikan paradigma di dalam membangun bangsa ini.Untuk mengimplementasikan itu semua, perlu ada kekuatan yang memiliki legalitas, orang-orang yang berdedikasi dan berintegritas tinggi, memiliki moral atau akhlak, semangat juang yang tinggi, bekerja untuk semua. Betapa bobroknya masyarakat Arab pada zaman Nabi, hingga disebut sebagai masyarakat jahiliyah, tetapi ternyata konsep atau paradigma madani berhasil membangun tatanan kehidupan yang ideal. Kuncinya adalah adanya konsep yang dibarengi dengan implementasi yang tepat.Bangsa Indonesia telah memiliki konsep ideal yang menyerupai konsep madani.Hal yang tersisa adalah kemampuan dan kemauan mengimplementasikannya.Oleh karena itu, yang diperlukan adalah sekelompok pemimpin yang jujur, adil, memiliki keikhlasan, menyandang semangat juang dan sekaligus kesediaan berkorban, siap menjadi tauladan, amanah, dan memiliki kecerdasan berbagai aspek------intelektual, spiritual, sosial, dan profesional.Wallahu a’lam.