Dengan semakin banyaknya koruptor tertangkap oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kita semakin gembira. Ini berarti kehadiran KPK memang
satu satunya yang bisa mengurangi dan menyelamatkan uang negara dari
gerusan para penjahat berkerah putih. Kehadiran KPK harus terus
dipertahankan dan bahkan wilayah kerja dan keorganisasiannya mesti
dikembangkan,misalnya hingga Tingkat Provinsi.
Bergembira bahwa KPK bisa menangkap koruptor, tapi kita prihatin para
koruptor yang tertangkap itu mereka adalah para cendekiawan, akademisi,
kaum intelek, mereka yang sebelumnya dinilai teladan dan kaum agamis
(orang yang memiliki ilmu agama).
Kalau kita telisik kenapa orang-orang seperti itu bisa menjadi
koruptor, orang yang baik-baik menjadi penjahat atau orang yang kita
sebut sebelumnya sebagai udztad atau kiayi bisa menjadi penjahat juga,
sehingga disebut orang "bekas kiayi atau bekas udztad, orang yang sudah
memiliki jabatan tinggi dan digajih sangat besar en toh masih nafsu
korupsi, mungkin persoalannya terletak pada "nafsu keduniaan" yang tidak
dikawal dengan sifat iman dan takwa.
Pertama, bahwa mereka yang memiliki intelektual tinggi, akademisi,
berteladan, dan agamis tidak kuat terhadap godaan duniawi yang berbentuk
materi yang tidak halal. Ilmunya, emosinya, dan intelektualnya tidak
bisa menghalangi nafsu angkara murka duniawi yang busuk. Apa yang ia
dapat dari pendidikan, pengalaman dan pekerjaannya tidak berbanding
lurus dengan akhlaq yang baik, iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Kedua, bahwa godaan harta duniawi yang haram itu selain karena dirinya
lemah juga karena pengaruh lingkungan, baik itu lingkungan kerja,
lingkungan keluarga dan atau lingkungan organisasi yang mungkin ia
berada. Pengaruh lingkungan kerja biasanya mereka pejabat yang memiliki
pekerjaan bersifat menentukan. Tanda tangannya, kebijakannya, suara
mulutnya menjadi penentu untuk menghasilkan output yang mendatangkan
uang atau fasilitas yang berbentuk pelayanan, sertifikat perijinan,
dlsb. dari sinilah, mereka yang tadinya baik dan agamis lama kelamaan
menjadi tidak baik dan kufur. Tak tahan godaan harta yang diserahkan
oleh mereka yang dinamakan penyuap.
Pengaruh lingkungan keluarga, bisa muncul karena dorongan para anggota
keluarga seperti isteri dan anak. Isteri yang karena lingkungannya
berada di area orang-orang berduit seringkali memunculkan sifat
persaingan harta, tidak mau dikalahkan oleh orang lain, misalnya dalam
hal fesyen, kendaraan, assesories (perhiasan) atau pergaulannya. Isteri
yang glamour biasanya menuntut kepada suami untuk diberikan harta yang
lebih. Disisi lain, penghasilan suami tidak bisa mengfakomodir
kepentingan isteri. Juga pengaruh anak. Anak yang terbiasa dididik
materi oleh orang tuanya menjadi banyak tuntutan untuk menghidupi
pergaulannya. Untuk memenuhi kebutuhannya itu, si anak menuntut
diberikan uang dan harta yang banyak.
Kemudian, seseorang yang karena dipusaran kekuasan politik memerlukan
cukup harta untuk tetap eksis di lingkaran kekuasaan dengan menjadi
penyumbang partai. Dorongan seperti itu menjadikan ia mencari
celah-celah berbuat jahat dengan memanfaatkan fasilitas dan
kewenangannya.
Semua pengaruh itu, yaitu pengaruh lingkungan kerja, pengaruh
lingkungan keluarga dan pengaruh lingkungan dimana ia bernaung di partai
menggerus keimanannya sehingga roboh pada jurang kenistaan dan
kekufuran.
Ketika seseorang berbuat maksiat kepada Allah misalnya berbuat korupsi,
maka seketika itu imannya hilang alias kufur. Semua amalan ibadah dan
amalan kebaikannya pupus sudah. Kan, bila kita memakan harta bathil,
maka ibadah kita tidak akan diterima selama 40 hari. Apalagi kalau
kebathilannya itu dilakukan terus menerus, maka selama hidupnya ibadah
kita tidak akan diterima. Mereka itulah yang disebut sebagai pendusta
agama. "Neraka weil balasan bagi mereka yang mendustakan agama dan lalai
dalam sholatnya. Artinya, walaupun sholatnya rajin dilakukan tetapi
selalu diiringi dengan kebathilan, itulah disebut sholat yang lalai dan
sekaligus pendusta agama.
Oleh karena itu, siapapun mereka yang memiliki jabatan dan memiliki
kewenangan tinggi, harus mengawal dirinya dengan sifat dan sikap iman
dan taqwa. "Memahami, menyadari dan mengerti" bahwa segala gerak-gerik
kita ada yang mengawasi dan mencatatnya, yaitu para Malaikat pencatat
amal baik dan buruk.
Selain pengawasan yang bersifat agamis juga dibarengi pengawasan
ditempat kerja. Sesama rekan pejabat harus memiliki kesadaran untuk
berbuat baik dan saling mengawasi satu dengan lainnya. "Saling
mengingatkan dalam urusan kebaikan dan dalam urusan kesabaran".
Para pejabat dan para pemangku kewenangan harus bisa meredam para
anggota lingkungan keluarganya dari nafsu diniawi yang haram. Sebagai
kepala keluarga, harus menjadi teladan dan imam yang baik yang menuntun
anggota keluarganya ke jalan yang diridhoi-Nya.
Bagi lingkungan kerjanya, ia harus menjadi pimpinan yang baik yang
menuntun anak buahnya bekerja jujur, berintegritas, disiplin dan
profesional.
Agar Allah senantiasa membimbing kita untuk menjadi orang-orang yang
lurus, maka seringlah berdoa kepada Allah "Ya Allah janganlah Engkau
condongkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk kapada kami dan
berikanlah rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau Maha
Pemberi. Dan agar keluarga kita menjadi keluarga yang baik, maka
panjatkanlah doa "Ya Allah jadikanlah anak kami, cucu kami, dan isteri
kami menjadi penyejuk hati kami dan jadikanlah mereka sebagai pemimpin
orang-orang yang bertaqwa". Mari kita berbuat yang terbaik untuk hidup
kita ini, "Rasulullah Saw mencintai mereka yang berbuat baik walaupun
sedikit tetapi dilakukan secara terus menerus".
Mari kita awali bersih-bersih dari diri kita. Mudah-mudahan negeri ini,
Negeri yang yang baik dan negeri yang senantiasa diampuni Allah.