Semakin disadari bahwa pendekatan formal
konvensional selama ini belum sepenuhnya efektif dalam menyelesaikan
masalah-masalah korupsi. Usaha-usaha itu meski sudah dilakukan sejak
lama, mulai dari pembentukan lembaga antikorupsi, bongkar pasang
pejabat, hingga membuat kebijakan-kebijakan baru untuk menghadang
korupsi. Namun hasilnya masih jauh dari harapan. Pada prakteknya
korupsi masih saja terus berjadi dimana-mana. Keberadaan korupsi
seolah mengejek kita semua; makin diteriaki makin berani, makin ditekan
makin menantang dan makin dihadang makin melawan. Pendeknya, korupsi
bagai serdadu yang masih gagah berani.
Keberlangsungan pendekatan formal konfensional
sepertinya masih baru sedikit beranjak dan belum dapat bekerja optimal
sebagaimana yang diharapkan. Dipihak lain masyarakat tidak bisa menanti
penyelesaian masalah korupsi dengan hanya mengandalkan
pendekatan-pendekatan formal. Dampak buruk korupsi sudah semakin
menyesakkan dada rakyat dan sudah harus mendapatkan penyelesaian
secepat-cepatnya. Perlu ada terobosan-terobosan baru untuk memecah
kebuntuan dan kemacetan dari pendekatan yang selama ini dilakukan.
Salah satu upaya terobosan itu adalah mengoptimalkan peran
masyarakat beserta perangkat sosial yang dimilikinya, yakni budaya.
Selama ini reaksi masyarakat terhadap perilaku korupsi masih sangat
minim. Korupsi masih merupakan “peristiwa elit” dan hanya kalangan
tertentu saja yang menggagap sebagai sebuah kejahatan besar sehingga
harus diperangi. Umumnya masyarakat kurang peduli terhadap korupsi dan
seolah terlepas dari kehidupan sehari-hari.
Dalam kontek budaya, korupsi belum menjadi kata yang menggetarkan di
dalam sukma masyarakat. Kata korupsi belum mengalirkan makna yang kuat
dan jelas sehingga siapapun yang mendengarnya akan secara spontan
memberikan reaksi-reaksi tertentu dengan cepat. Berbeda dengan misalnya
kata maling, copet atau rampok. Untuk sebagian besar masyarakat kita,
kata tersebut telah memiliki pengertian dan makna yang jelas dalam alam
pikir dan kehidupan sehari-hari. Bila suatu saat ada orang berteriak
keras menyebut kata tersebut disuatu tempat, maka percayalah secara
spontan masyarakat yang mendengarnya akan memberikan reaksi cepat dan
spontan.Dalam kontek kebudayaan, dinamika masyarakat digerakkan oleh sistem tradisi yang pengertiannya menurut Soedjatmoko (1984) adalah suatu sistem nilai, sistem makna dan sistem tingkah laku yang kurang lebih lengkap dan mampu berdiri sendiri, tanpa perlu dilengkapi dengan sistem dari luar. Dalam kontek ini jelas dapat dirasakan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah terma-terma modern yang keberadaannya masih merupakan ‘unsur luar’ dari tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. KKN, dalam kebanyakan masyarakat kita belum mengalirkan makna-makna yang jelas dengan sendirinya. Itulah mengapa usaha pemberantasan korupsi belum menggerakan masyarakat luas untuk melakukan perlawanan secara memadai.
Dari gambaran diatas nyatalah bahwa usaha pemberantasan korupsi yang melibatkan masyarakat luas merupakan bagian dari masalah kebudayaan. Pemberantasan korupsi dalam kontek masyarakat yang cenderung tradisional akan senantiasa berhadapan dengan sistem nilai, sistem makna dan sistem tingkah laku dalam masyarakat. Para pejuang antikorupsi tidak dapat memaksakan tujuan maupun cara-caranya dalam pemberantasan korupsi dengan efektif tanpa melewati ‘lingkar dalam’ tradisi ini dan harus menemukan cara-cara baru yang bergerak dari dalam tradisi tanpa meninggalkan substansinya.
Untuk mengoptimalkan peran masyarakat luas dalam memberikan kontribusi terhadap usaha pemberantantasan korupsi diperlukan kerangka kerja budaya. Kerangka kerja yang dimaksud adalah memasukkan terma-terma korupsi dan ikhtiar pemberantasanya kedalam atmosfer budaya masyarakat sehingga pengertian menjadi jelas dan terang dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menyusun kerangka kerja budaya diperlukan paling tidak lima tahapan penting; 1) menyusun pemahaman yang utuh tentang korupsi dan berbagai aspek yang melingkupinya, 2) Menterjemahkan terma-terma korupsi kedalam ideom-ideom budaya yang mudah dipahami oleh masyarakat. Usaha penerjemahan ini tidaklah mudah mengingat pemaknaanya harus tepat, baik dari sisi peristilahan maupun kandungan artinya. Ketepatan menterjemahkan ideom ini akan mempermudah masyarakat dalam melihat fakta-fakta di lapangan. Beberapa contoh seputar permasalahan korupsi yang harus diterjemahkan misalnya kata korupsi, kolusi dan nepotisme. Termasuk dalam hal ini diterjemahkan dengan tepat seperti apa itu mark up, konflik kepentingan, hadiah dll. Penting juga diterjemahkan kedalam bahasa budaya adalah konsep transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat.
3) Hasil dari terjemahan ideom-ideom tersebut selanjutnya dicarikan legitimasi normatif dan historis secara tepat. Legitimasi ini adalah upaya memberikan sandaran nilai yang hidup di masyarakat dengan menyerap pengalaman masa lalu yang dapat dijadikan teladan/panutan. Bila legitimasi tersebut bersumberkan pada unsur keagamaan seperti Islam misalnya, maka legitimasi normatif dapat dirujukkan pada teks-teks Al qur’an, Sunnah dan kitab-kitab klasik. Sedangkan legitimasi historis dapat di carikan rujukannya pada pengalaman sejarah masa lampau mulai pada zaman nabi, sahabat, tabiin dst. 4) Bila legitimasi normatif dan histories telah berhasil dicangkokkan, apresiasi selanjutnya adalah merumuskan model sangsi-sangsi korupsi dan juga memberikan arah yang benar dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Sangsi terhadap pelaku korupsi perlu dirumuskan bentuknya yang aktual, dengan mempertimbangankan siatuasi-situasi yang berkembang. Sangsi tersebut tepatnya lebih bersifat moral dan sosial sebagai unsur pendukung dari sangsi-sangsi formal (hukum positif). 5) Tahap terakhir adalah melakukan sosialisasi secara intensif dengan berbagai pendekatan yang kreatif seperti memanfaatkan media-media seni budaya dan tentu dengan melibatkan tokoh-tokoh atau lembaga yang secara budaya masih ’dipercaya’ masyarakat.
Sumber : http://www.transparansi.or.id/