Telaah tentang konsep negara kesejahteraan Madinah “Madani”, atau yang lebih dikenal dengan sebutan masyarakat “civil society”,
menjadi sesuatu yang menarik perhatian, baik aktivis pemberdaya
masyarakat ataupun pemerhati pemberdayaan masyarakat. Tak pelak, topik
ini seringkali menjadi bahan pembicaan atau tema diskusi formal maupun
non-formal.
Konsepsi Masyarakat Madani
Menurut Tahir Azhary dalam bukunya Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
(Jakarta: Kencana, 2007), halaman 157, “Berdasarkan catatan sejarah
diketahui bahwa Nabi Muhammad, SAW hijrah ke Madinah pada tahun 622 M.
Ada dua aktivitas sangat penting yang dilakukan setibanya di Madinah,
yaitu mendirikan mesjid di Quba dan city-state di Madinah. Dua
peristiwa tersebut membuktikan bahwa Nabi Muhammad, SAW telah
melaksanakan dua macam doktrin Islam yang pokok, yaitu hubungan manusia
dengan Allah, SWT dan hubungan manusia dengan sesama manusia.”
Sedangkan menurut Irfan Idris dalam bukunya Islam dan Konstitusionalisme: Konstribusi Islam dalam Penyusunan Undang-Undang Dasar Indonesia Modern, (Yogyakarta:
antony Lib, 2009), halaman 32 mengemukakan, “Perilaku Nabi Muhammad,
SAW pada permulaan periode di Madinah membuktikan bahwa sejak semula
Islam mempertautkan secara erat antara agama dengan negara. Selain itu
pula ketika Nabi Muhammad, SAW di Madinah, mengubah nama Kota Yastrib
menjadi Madinah. Namun, Madinah yang digunakan untuk mengganti Yastrib
tidak sekadar berarti kota. Nama itu punya arti yang luas, yaitu kawasan
tempat menetap dan bermasyarakat yang memiliki peradaban dan budaya
mencakup negara (dawlah) dan pemerintahan (hukumah). Di belakang kata Madinah, ditambahkan kata Munawwarah atau Madinah al-Munawwarah, artinya negara dan pemerintahan yang diberi cahaya wahyu llahi, atau menurut istilah al-Farabi, yaitu al-Madinah al-Fadilah (negara utama)”.
Nurcholish Madjid, dalam tulisannya yang berjudul Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Ilmu dan Ulumul Qur'an, No. 2, Vol. VII, Th. 1996, h. 51 menyebutkan, “Secara konvensional, perkataan madinah, dapat
diartikan sebagai kota. Dalam ilmu kebahasaan, mengandung makna
peradaban. Dalam bahasa Arab peradaban dinyatakan dalam kata-kata madaniyah atau tamaddun. Oleh
karena itu, tindakan mengubah nama Yastrib menjadi Madinah pada
hakikatnya adalah sebuah peryataan niat atau proklamasi bahwa Nabi
Muhammad, SAW bersama para pendukungnya, yang terdiri atas kaum
Muhajirin dan Anshar, hendak mendirikan dan membangun masyarakat
beradab.”
Fajar Riza dan Endang Tirtana, (ed.), Islam, HAM, dan Keindonesiaan: Refleksi Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama, (Jakarta:
MAARIF Institute for Culture and , 2007), halaman 22, mengutip uraian
Yudi Latif sebagai berikut. “Salah satu penjelasan leksikal kata madinah berasal dari kata kerja dana-yadinu, berarti
tunduk-patuh; yang mengisyaratkan kewajiban manusia untuk tunduk dan
patuh kepada kesepakatan dan perjanjian kontraktual yang sah antara
manusia dengan Tuhannya dan antara sesamanya. Penjelasan leksikal
lainnya menyebutkan bahwa madinah berasal dari kata kerja madana-yamdunu, yang berarti mendirikan bangunan. Hal ini mengisyaratkan pembangunan hunian tetap sebagai basis peradaban negara-kota (polis)”.
Masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad, SAW di Madinah, oleh Robert N. Bellah dalam Beyond Belief, (New
York: Harper & Row, 1976), halaman . 150-151 dikatakan sebagai
masyarakat yang—untuk zaman dan tempatnya—sangat modern, bahkan terlalu
modern. Sehingga, setelah Nabi Muhammad, SAW sendiri wafat, konsep
tersebut tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu
belum siap dengan pranata sosial yang diperlukan untuk menopang tatanan
sosial modern seperti dirintis Nabi Muhammad.
Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad, SAW adalah
berdasarkan prinsip kesejahteraan. Dalam Islam, konsep negara hukum
kesejahteraan dirumuskan dengan istilah baldatun thayyibatun, seperti dalam Firman Allah swt. Q.S. Saba (34) Ayat 15 sebagai berikut:
Terjemahannya:"...(negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. |
Hakikat baldatun thayyibatun pada ayat di atas adalah suatu
negeri atau daerah yang baik, tanahnya subur, masyarakatnya makmur serta
pemerintahannya adil, dan merupakan gambaran masyarakat yang ideal.
Dalam mewujudkan negara hukum kesejahteraan sebagaimana dimaksudkan
Al Qur'an, yaitu suatu negara yang sejahtera di bawah naungan ridha
Allah, SWT, maka negara berkewajiban mengatur dan mengalokasikan dana
dalam jumlah yang cukup untuk keperluan jaminan masyarakat yang
memerlukannya. Jaminan sosial itu mencakup tunjangan pengangguran,
tunjangan orang tua (berusia pensiun), beasiswa bagi yang sedang
menuntut ilmu dan lain-lain. Negara berkewajiban pula menyediakan sarana
peribadatan, pendidikan, panti asuhan, rumah sakit dan lain-lain.
Pada negara hukum Madinah, hanya ada satu motivasi pada prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam: hablun min Allah wa hablun min al-nas, yaitu
aspek ibadah dan aspek muamalah. Realisasi prinsip negara hukum
kesejahteraan ini semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial
dalam masyarakat sesuai dengan perintah Allah, SWT.
Masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad, SAW adalah
masyarakat yang berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip
kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta
perlindungan terhadap kelompok minoritas. Kalangan pemikir Muslim
menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat
ideal produk Islam. Hal itu berdasarkan hadits Nabi Muhammad, SAW dalam
sabdanya, “Tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik
masyarakat, atau sebaik-baik masa adalah masaku.”
Sumber-sumber pendapatan negara pada Negara Madinah, antara lain
zakat, infaq, sadaqah, ghanimah dan jizyah. Zakat, infaq, sadaqah
merupakan sumber pendapatan negara yang berasal dari kaum Muslimin.
Ghanimah adalah harta rampasan perang yang ditentukan.
Nabi Muhammad, SAW sebagai rasul tidak hanya menerapkan prinsip
kesejahteraan sosial dalam makna pemenuhan akan kebutuhan materil atau
kebendaan saja, akan tetapi dalam kedudukannya sebagai Rasulullah dan
Kepala Negara Madinah, Nabi Muhammad, SAW telah menerapkan suatu prinsip
kesejahteraan untuk dua macam kepentingan. Yaitu, kepentingan
kesejahteraan materil bagi semua warga Madinah dan kesejahteraan yang
bersifat spiritual.
Nabi Muhammad, SAW telah melaksanakan dan menerapkan suatu prinsip keseimbangan duniawiyah dan ukhrawiyah. (Sumber: Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum… op.cit.. h.168) Prinsip ini diajarkan dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 201 sebagai berikut:
Terjemahannya:“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kesejahteraan (kebaikan) di dunia dan kesejahteraan (kebaikan) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. |
Pertanyaannya kemudian adalah, dapatkah konsep Negara kesejahteraan Madinah (“Madani&rdquo kita wujudkan pada sebuah Negara yang menganut dan menerapkan sistem kapitalis sekuler seperti Indonesia? Wallahu a’lam bish-shawab.