Tekad bangsa Indonesia di era reformasi untuk menyelenggarakan pemerintahan bersih (clean government), bebas
kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) sebagaimana tertuang dalam Ketetapan
No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28 tahun 1999 patut disambut baik semua
pihak. Martabat pemerintah Indonesia
dipertaruhkan oleh integritas kejujuran, harkat kemanusiaan pribadi
pelaksana birokrasi dan segenap warga negara. Karena sebaik apapun
aturan dibuat, amat tergantung pada disiplin sosial (termasuk aparat)
yang terikat aturan tersebut. Demikian pula kewaspadaan terhadap
korupsi cukup beralasan, karena hipotesis yang berlaku selama ini
mengkorelasikan tingkat korupsi dengan bobot krisis ekonomi.
Muhamad
al Ghazali (pejuang kemerdekaan Mesir) optimis menempatkan posisi
konstitusi negara dan Undang-undang (UU) di tempat kedua, sedang
tempat pertama adalah kesadaran moral manusia dan mental-loyalitasnya.
Akar patologi sosial menurut persepsinya terletak pada kerakusan
terhadap materi dan kedudukan, kebohongan dan sifat munafik. Imbas
dari kecenderungan tersebut memunculkan perilaku pengingkaran terhadap
norma (hukum, etika-sosial dan agama), pelanggaran dan kejahatan
terkutuk yang dikemas oleh kesombongan dan perasaan super.
Kiranya
tepat bila kepolisian membuat rumus N+K = C, yakni niat atau motivasi
individu bila bertemu kesempatan akan membuka akses bagi terjadinya
tindak kriminal. Mewaspadai prediksi tersebut, motivasi individu perlu
ditumbuhsuburkan dengan nilai moral; rasa tanggungjawab pada
kepentingan umum, kejujuran, dapat dipercaya (amanah), berkeadilan,
disiplin diri, menaruh rasa hormat kepada orang lain dan sadar akan
dosa bila menyimpang dari nilai-nilai moral tersebut.
Dari
sudut etika, KKN mengandung unsur penyalahgunaan kepercayaa,
meremehkan tanggungjawab moral yang dituntut orang banyak, sekaligus
merupakan penyimpangan terhadap norma hukum dan sosial. Pelaku KKN
telah mengorbankan perasaan batinnya, mengingkari ajaran dosa yang
dinisbahkan pada tindak membohongi dan memeras orang lain, rakus
menerima sesuatu yang seharusnya diberikan kepada negara, bersekongkol
dengan pihak lain dalam melakukan pelanggaran hukum demi keuntungan
pribadi dan menodai janji yang diikrarkan dengan jaminan nama Allah.
Berpijak
pada hipotesis, akar terjadinya KKN terletak pada subyek manusia,
tepatnya pada kesadaran moral dan loyalitas mental. Maka alur
pembahasan tulisan ini difokuskan pada bias persepsi yang pada
ujungnya merangsang sikap toleransi tak wajar (permisif) pada praktek
KKN. Menempuh pola pelurusan persepsi diharapkan terjadi proses
penghindaran praktek KKN secara bertahap menuju disiplin sosial yang
diidealkan.
Faktor yang Mempengaruhi KKN
Berbagai
asumsi perihal faktor-faktor yang mengkondisikan mudahnya terjadi
praktek KKN, akumulasinya bermuara pada: (a) kemiskinan dan gaya hidup
konsumtif, (b) kesadaran hukum yang rendah dan tidak adanva tindakan
hukum yang tegas, (c) tiada keteladanan dari pemimpin; pemuka
masyarakat dan budaya feodal, (d) sistem akuntabilitas dan
pengendalian manajemen yang tidak memadai, (e) kelemahan pengajaran
agama dan etika.
Kemiskinan
(tradisional dan struktural) memang amat rentan terhadap pelanggaran
norma sosial dan norma agama, namun akibat yang ditimbulkan relatif
berskala kecil. Dalam ajaran Islam diestimasikan bahwa "dekat sekali kefakiran itu menyeret orang jadi kufur". Namun ketika dikonfirmasikan dengan prospek ukhrawi justru penghuni surga dipadati orang-orang yang terkondisi hidup duniawinya serba kekurangan. Ketika dilakukan cross informasi diperoleh kepastian bahwa kemiskinan di sektor ilmu pengetahuan merupakan penyebab utama orang menjadi penghuni neraka.
berskala kecil. Dalam ajaran Islam diestimasikan bahwa "dekat sekali kefakiran itu menyeret orang jadi kufur". Namun ketika dikonfirmasikan dengan prospek ukhrawi justru penghuni surga dipadati orang-orang yang terkondisi hidup duniawinya serba kekurangan. Ketika dilakukan cross informasi diperoleh kepastian bahwa kemiskinan di sektor ilmu pengetahuan merupakan penyebab utama orang menjadi penghuni neraka.
Terbukti
pelaku korupsi material dan politik yang banyak memunculkan praktek
nepotisme lebih sering melibatkan orang-orang kaya dengan status
sosial terhormat di lingkungan masyarakatnya. Prediksi ajaran hadis
lain menyuratkan bahwa fakta keberlimpahan fasilitas kehidupan duniawi
akan memacu budaya pamer kekayaan. Hal tersebut arahnya
mengindikasikan gaya hidup yang konsumtif dan usaha mendanainya diperoleh dari praktek KKN.
Kesadaran
hukum hanya mungkin disosialisasikan apabila norma hukum dan
aplikasinya di lapangan mencerminkan watak keadilan absolut, bukan
keadilan relatif (semu). Prasyarat guna mewujudkan keadilan absolut
itu antara lain: (1) kesamaan kedudukan setiap orang di depan hukum
tanpa melihat latarbelakang status sosial yang bersangkutan, (2)
aparat yudikatif (polisi, jaksa dan hakim) berlaku obyektif dalam
menindak setiap pelaku KKN. Upaya penegakan hukum yang melibatkan kasus
KKN sedapat mungkin menghindari penyelesaian di luar pengadilan, (3)
pranata perundang-undangan yang mengatur pasal-pasal KKN dikemas
redaksionalnya dengan meminimalisir pencantuman istilah-istilah yang
mengundang penafsiran berbeda-beda, (4) sanksi hukum teruji
efektifitasnya untuk membuat jera para pelaku KKN. Sanksi hukum bagi
pelaku KKN perlu memilih bentuk yang ekstrim dan progresif, dengan
pengertian semakin besar nilai KKN maka semakin ekstrim hukumannya.
Sebagai
bahan perbandingan, kepada pelaku tindak pidana korupsi menurut
hukum pidana Islam diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan
diikuti kemudian dengan penyitaan kekayaan yang diperoleh dari praktek
korupsinya. Dalam hal ini prosedur pembuktian kasusnya menerapkan
sistem pembuktian terbalik (prima facie). Betapa kekayaan
pejabat itu diperoleh dari hadiah, Khalifah Umar bin Khatab tetap
membagi 50 persen boleh dimiliki pejabat yang bersangkutan, sedangkan
sisanya disetor ke kas negara (bait al mal).
Perlakuan
Khalifah Umar tersebut lebih didasarkan pada iktikad baik
pejabat-pejabat itu dan ketiadaan bukti hukum penyalahgunaan jabatan.
Selain itu berlaku tradisi meng-exspose (mempublikasikan) eksekusi hukuman tersebut secara terbuka kepada masyarakat luas. Model eksekusi ‘tasyhir’ tersebut
dicontohkan oleh rasulullah SAW yang menimpa Abdullah bin aI Lutbiah
selaku petugas pemungut zakat. Dalam penerapan sanksi tersebut
tersirat dua misi sekaligus, yaitu menanamkan rasa malu dan rasa
berdosa sebagai prasyarat kondisional ‘taubat’ pelaku KKN.
Keteladanan
para pemimpin (birokrat) dan pemuka masyarakat bisa dirintis lewat
pola hidup sederhana, menyatu dengan tradisi masyarakat sekitar dan
menjalin komunikasi sosial yang positif. Seiring dengan itu perlu
dibudayakan tradisi pelaporan kekayaan pribadi setiap pemegang jabatan
yang beresiko bagi kemungkinan terjadi korupsi. Pelaporan kekayaan
itu dilakukan secara berkala dan diikuti dengan pemantauan. Oleh
karena unsur dominan korupsi adalah fungsi ganda pejabat yang
kontradiktif—antara fungsi jabatan dan fungsi pribadi—maka seyogyanya
diberlakukan larangan mendirikan perusahaan yang melibatkan pejabat
negara atau kerabat dekatnya.
Budaya
tidak merangkap fungsi jabatan dan bisnis telah diperagakan oleh Abu
Bakar as Shiddiq terhitung hari kedua dari pembaiatan dirinya sebagai
khalifah. Implementasi dari strategi ini, tender-tender proyek
bangunan milik pemerintah, selain bersifat terbuka dan babas
diskriminasi, perlu didukung eliminasi jaminan ‘tidak ada hubungan
keluarga’ antara rekanan dan pejabat pemerintah yang menjadi pimpinan
proyek bangunan tersebut.
Contoh
keteladanan pemimpin seperti dipraktekkan Rasulullah SAW saat menolak
menaiki kuda hasil rampasan perang yang disiapkan sahabat untuk
beliau dengan alasan bahwa hak beliau terhadap kuda tersebut hanya
sebatas seperlima bagian, seperti digariskan dalam al Quran (QS al
Anfal: 41).
Teladan
lain juga diperagakan Khalifah Umar saat menerima tamu di rumah
dinasnya. Umar segera mematikan lampu minyak di rumah dinasnya begitu
pembicaraan sang tamu meluncur keluar dari urusan kedinasan. Ketika
ditanya perihal tindakan tersebut ternvata dikarenakan pengadaan
minyak pada lampu itu didanai oleh negara. Maka pemanfaatannya sebatas
urusan dinas saja. Demikian pula wasiat Umar agar tak seorangpun dari
keturunannya berambisi menjabat khalifah, betapapun kesiapan mereka.
Budaya
feodal yang ditandai dengan tradisi minta petunjuk, berharap
pemberian upeti karena merasa berjasa, beban moral menyantuni keluarga
dekat dengan fasilitas jabatan dan perlakuan-perlakuan lain yang
terkesan istimewa, kiranya bisa dihilangkan secara bertahap dengan
menerapkan otonomi pada setiap pejabat. Progress report (laporan kemajuan) prestasi kerja pejabat bawahan cukup memadai sebagai tolak ukur conduite yang bersangkutan, bukan ukuran kedekatan pribadi.
Sistem
akuntabilitas dan pengendalian manajemen yang kurang memadai lazim
membuka peluang bagi praktek KKN. Kelemahan pada sektor tersebut
kiranya bisa diatasi dengan rasionalitas pegawai serta diimbangi
dengan penciptaan formasi yang membagi habis tugas tanggung jawab
pegawai yang ada. Peningkatan mutu sumberdaya manusia lewat penyertaan
latihan, pendidikan kedinasan, di samping juga rutinitas supervisi
oleh atasan langsung. Efisiensi dan efektifitas seharusnva mendasari
prinsip manajemen dan menerapkan pelaporan semua penyemaan termasuk
yang bersumber dari non-neraca.
Kelemahan
pengajaran agama dan etika amat berpengaruh pada terjadinya praktek
KKN. Struktur kurikulum pendidikan formal selama ini memposisikan
bidang studi agama di wilayah marjinal (periver), terbukti
keberadaannya di luar cakupan materi Ebtanas/materi uji UMPTN, dengan
alokasi waktu/bobot satuan kredit yang minim di samping
pengelompokannya ke dalam komponen dasar umum.
Perlakuan semacam itu mengindikasikan jauh lebih penting bidang studi Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) daripada Imtaq (Iman dan Taqwa). Selain itu, silabus untuk membentuk wawasan kognitif bidang agama dan etika sama sekali tidak memuat norma sosial, karena seluruh perhatian penyusun GBPP (Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran) terpusat pada arahan instruksional norma individual.
Perlakuan semacam itu mengindikasikan jauh lebih penting bidang studi Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) daripada Imtaq (Iman dan Taqwa). Selain itu, silabus untuk membentuk wawasan kognitif bidang agama dan etika sama sekali tidak memuat norma sosial, karena seluruh perhatian penyusun GBPP (Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran) terpusat pada arahan instruksional norma individual.
Lembaga
sosial keagamaan termasuk majelis ulama/tokoh agama terlewatkan
keterlibatannya pada upaya memberantas KKN. Rekomendasi yang
diagendakan lembaga-lembaga tersebut teramat minim porsinya dalam
mengantisipasi makin maraknya praktek KKN. Strategi yang senantiasa
dikedepankan dalam usaha memberantas KKN bertumpu pada langkah-langkah
praktis-pragmatis, seperti yang telah dibukukan BPKP (Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Pendekatan yang berorientasi
psikologis dan moral agaknya dinilai tidak efektif dan sulit diperoleh
data kuantitatifnya. lde strategi tersebut sepertinya tidak mengacu
pada pandangan populer "man behind the gun".
Mengingat
mayoritas warga negara Indonesia termasuk aparat birokrasinya
beragama Islam, kiranya ikhtiar (usaha) membangun wawasan keagamaan
bertema pengenalan tentang KKN cukup strategis, karena visi Islam
tentang sanksi atas pelakunya lebih dari sanksi sosial, melainkan
strata jangkauan moralnya berhadapan langsung dengan laknat Allah dan
adzab di neraka.
Persepsi Tentang Korupsi
Terma
korupsi selama ini diartikan tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, berakibat
merugikan kepentingan umum dan negara. Bentuk nyata tingkah laku
korupsi bisa berwujud penggelapan, penyuapan, penyogokan, manipulasi
data administrasi keuangan (termasuk mark up), pemerasan, penyelundupan, jual beli dukungan politik dan perbuatan sejenis lainnya.
Pada
tingkah laku tersebut unsur dominan korupsi terletak pada
penyalahgunaan kekuasaan yang didelegasikan pada seseorang, melibatkan
fungsi ganda jabatan dan fungsi pribadi sebagai anggota sosial,
langsung atau tidak langsung negara dirugikan karenanya. Kerugian
negara dalam kasus korupsi merupakan akibat dari ketidakjujuran atau
kecurangan yang disembunyikan melalui berbagai cara.
Tengara sebagian pengamat mengklaim bahwa dalam hukum Islam tidak mengenal hadd untuk
tindak pidana korupsi, karena penggelapan lebih dikaitkan dengan
amanah, membuat kerugian pada negara setara dengan mencuri kekayaan bait al mal dan
dibenarkan orang menyuap pejabat dalam rangka mengusahakan hak
pribadinya. Klaim tersebut terkesan hanya merujuk pada wacana terbatas
dan menggeneralisir masalah.
Di
antara unsur material yang harus terpenuhi untuk pembuktian
"pencurian" adalah keberadaan objek yang dicuri pada tempat yang
memadai. Oleh karena pelaku penggelapan itu sebelumnnya telah
memperoleh kewenangan hukum untuk menguasai obyek dimaksud atas nama
"amanah/titipan", maka kasus tersebut dianggap tidak memenuhi unsur
pidana material pencurian yang bisa dikenakan sanksi potong tangan.
Oleh karenanya pakar hukum Syafi’iyah mengkategorikan penggelapan ke dalam delik "juhdu al 'ariyah" yang ancaman sanksinya berupa ta'zir, bukan hadd.
Adapun pakar hukum dari madzhab Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ulama
Khawarij tetap menggolongkannya ke dalam delik pencurian atas dasar
postulasi hadis Fatimah Mahzumi'ah. Dengan demikian penggelapan tetap
dianggap sebagai tindak pidana (jarimah/jinayah), hanya saja klasifikasi sanksinya dipertentangkan antara hudud atau ta'zir.
Yurisprudensi dari khalifah Umar meniadakan hukum potong tangan bagi pencuri yang mengambil harta benda bait al mal. Pelaku pencurian diperlakukan sebagai warga negara Islam yang berserikat ikut memiliki kekayaan yang tersimpan di bait al mal tersebut.
Status hukum tersebut cukup menjadi unsur syubhat atau alibi hukum sehingga tidak patut dikenakan sanksi hadd pencurian. Pola pikir tersebut disikapi dengan pemilahan, apabila nilai benda yang dicuri dari bait al mal itu melebihi jatah pribadi pencuri dan kelebihan itu mencapai standar nishab pencurian, menurut doktrin hukum ulama Syiah/Imamiah tetap dikenakan sanksi hukum pencurian.
Demikian
pula paham hukum Imam Malik mengesampingkan yurisprudensi Khalifah
Umar, dengan argumentasi bahwa status pemilikan atas sebagian kekayaan
di bait al mal itu baru dianggap ada setelah cukup bukti hukum
bahwa pencuri yang bersangkutan layak memperoleh dana penunjang untuk
kebutuhan pribadi dari bait al mal. Sebelum terbit status
pemilikan tersebut, tetap dipandang sebagai harta milik negara dan
pencurian atasnya dikenakan sanksi sebagaimana layaknya.
Seberapa besar sanksi ta'zir yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana yang merugikan bait al mal, dapat dikaji dari kasus pemalsuan cap dinas yang dimanfaatkan untuk mengecoh petugas bait al mal. Pelaku
pemalsuan itu bernama Ma'nu bin Zaidah didera 100 kali pada hari
pertama, 100 kali dera pada hari kedua dan jumlah dera yang sama pada
hari ketiga. Setelah ada jaminan taubat, yang bersangkutan baru
dilepas oleh Khalifah Umar.
Pejabat
negara yang dipekerjakan dengan gaji tetap dilarang memungut sebesar
apapun dari orang yang dilayani. Pemungutan semacam itu apapun
dalihnya dikategorikan ghulul (mengkhianati tugas) (HR Abu
Dawud 2946). Bahkan segala bentuk pemberian/hadiah kepada pejabat
negara, sekalipun tanpa diminta, dipandang sebagai ghulul juga (HR Ahmad 5:424). Bentuk-bentuk pemberian semacam itu pada syariat agama lama (Yahudi) diistilahkan al suhti (QS al Maidah 42, 62, 63).
Penyuapan
kepada pejabat mengindikasikan dua kesalahan sekaligus, yaitu
mengabaikan perintah membuat keputusan sesuai aturan hukum dan
melanggar suatu larangan yaitu menerima pemberian yang haram. Dalam
pandangan Islam berlaku ancaman kutuk (laknat Allah) sebagai sanksi
moral sehubungan dengan suap itu untuk tiga pihak, yaitu penerima,
pemberi dan mediator yang menghubungkan antara pemberi dan penerima
suap. Data mengenai pejabat yang diketahui terbukti menerima suap (rasywah) di zaman kepemimpinan rasulullah SAW dan khulafa al rasyidin (khalifah empat) dihukum dengan pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan, seperti yang menimpa Abdullah bin Lutabiah.
Kasus
penyuapan kepada pejabat yang ditolerir adalah "korupsi difensif”
yakni dalam rangka mengurus sesuatu yang terancam terhambat atau
terhenti, maka guna memperlancar upaya memperjuangkan sesuatu yang
jelas-jelas menjadi haknya—sekira bila ditempuh secara wajar-wajar
saja bisa mengalami kelambatan atau lewat waktu—maka terpaksa ditempuh
dengan penyuapan. Pengecualian ini tetap dilekati kesadaran bahwa
perbuatan tersebut berdampak negatif "membiarkan tindak kejahatan".
Sejalan dengan pemikiran itu pihak penerima suap tetap dituduh sebagai
melanggar hukum dan haram nilai suapnya.
Khusus
tindak pidana yang melibatkan aparat negara, baik yang berasal dari
pengaduan masyarakat atau yang diketahui melakukan kecurangan
(tertangkap basah menarik pungutan liar) dan berdasar audit data
pembukuan kantor-kantor pemerintah, diselenggarakan mahkamah "wilayah al madzalim".
Pada mulanya koordinator mahkamah ini ditangani oleh khalifah (kepala
negara) dan dalam perkembangannya didelegasikan kepada tim yang
dipimpin oleh qadhi' al qudhat (hakim agung).
Persepsi Tentang Nepotisme
Nepotisme
(latin) adalah paham atau sifat yang mengutamakan/menguntungkan sanak
keluarga sendiri atau teman sejawat dalam hal menduduki jabatan dalam
pemerintahan, walaupun kurang memenuhi syarat. Rasionalitas rekrutmen
pejabat mencakup kualitas intelektual, profesionalitas atau memiliki
keterampilan teknis yang memadai dan teruji martabat kepribadian
berupa integritas (kejujuran) dan semangat bekerja dalam kelompok.
Persyaratan tersebut berorientasi pada kesejahteraan publik.
Oleh
karena nepotisme itu berobyek jabatan publik, maka tindakan itu
dianggap sebagai corak dari korupsi politis, berawal dari
komersialisasi jabatan yang berujung pada korupsi kekerabatan. Ekses
(akibat) nepotisme terlihat pada aparat pemerintah dipadati oleh
orang-orang yang tidak punya integritas dengan komitmen karakyatan.
Aparat birokrasi jadi kosong dari orang yang berpotensi dan jujur.
Sementara
beredar isu bahwa nepotisme bukan sistem yang buruk jika digunakan
sebagaimana mestinya, ibarat katup pelepas pada bejana penampung air.
Isu lain mengambil legitimasi dari kasus Musa menunjuk Harun yang
masih saudari seibu sebagai pejabat perdana menteri dalam
kepemimpinannya (QS Thaha: 29 dan al Furqan: 35) dan pejabat khalifah
sepeninggal nabi keempatnya masih terikat hubungan kekeluargaan dengan
nabi.
Musa
menjatuhkan pilihan tunggal pejabat perdana menteri kepada saudara
seibu atas dasar pertimbangan penilaian yang mendapat perkenan dari
Allah. Sedang keempat khalifah itu menduduki jabatan publik melalui
prosedur demokratis, berlatarbelakang jasa pengorbanan berikut
pengabdian serta senioritas mereka dalam perjuangan Islam terhitung
sejak periode Mekah. Latar belakang tersebut cukup prospektif bagi
jaminan kesejahteraan publik. Konsensus sejarah pun telah mengorbitkan
mereka berempat pada predikat "ar-rasyidun" atas prestasi dalam
melestarikan nilai-nilai kepemimpinan yang ditradisikan oleh nabi.
Justru nepotisme mulai merambah pemerintahan sistem dinasti Bani
Umayah dan seterusnya.
Cukup
keras ancaman moral yang disampaikan rasulullah seperti dikutip Abu
Bakar tentang pengangkatan orang-seorang pada suatu jabatan karena
kedekatan pribadi. Tanggung jawab moral hanya mungkin diupayakan
apabila kepemimpinan (amanat) itu dipercayakan atas prinsip kerja "the right man on the right place". Di
sisi lain rasulullah membenarkan komitmen orang yang membela
keluarga, sepanjang pembelaan itu tidak menerjang hal yang dipandang
dosa.
Upaya Memberantas KKN
Dari sudut pandang etis-normatif agama ditawarkan beberapa ide strategi guna
memberantas KKN, antara lain:
memberantas KKN, antara lain:
1. Memfungsikan kekuatan infrastruktur politik yang terdiri atas organisasi sosial-politik dan mass media (media massa)
serta lembaga swadaya masyarakat sebagai kelompok penekan.
Pemanfaatan hak kontrol terhadap kinerja lembaga eksekutif sampai ke
tingkat kelurahan benar-benar diefektifkan, tanpa mengesampingkan rasa
hormat kelembagaan;
2. Memposisikan
lembaga sosial keagamaan sebagai mitra suprastruktur politik dalam
menangani terapi moralitas atas gejala dan semakin merebaknva praktek
KKN. Kampanye anti KKN memakai pendekatan moral keagamaan bisa
diprogramkan guna membangun kesadaran moral dan loyalitas mental.
Pemasyarakatan fiqih sosial perlu diagendakan berbasis wawasan tasawuf
pada semua strata pendidikan dan pembinaan teknis pegawai;
3. Ciptakan netralitas pegawai dari rangkap jabatan di luar kedinasan dan meniadakan jabatan multifungsi;
4. Mengoptimalkan kekuasaan yudikatif dalam rangka menegakkan supremasi hukum dengan cara:
- Pemantapan otonomi dan independensi lembaga penegak hukum;
- Memasukkan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai tindak pidana, bukan sekedar diproses sebagai perkara perdata atau ketatausahaan;
- Menerapkan sanksi pidana atas pelaku KKN dengan sanksi yang ekstrim dan progresif;
- Memasukkan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai tindak pidana, bukan sekedar diproses sebagai perkara perdata atau ketatausahaan;
- Menerapkan sanksi pidana atas pelaku KKN dengan sanksi yang ekstrim dan progresif;
5. Prinsip yang mendasari rekrutmen pegawai/pejabat mengembangkan pola uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada
semua jenjang kepangkatan maupun eselon dengan menyertakan tes
psikologi moral keagamaan. Redaksi sumpah jabatan dan ikrar prasetya
abdi negara (pegawai negeri) serta sumpah Saptamarga prajurit perlu
secara eksplisit memuat tekad menghindari KKN:
6. Perlu diupayakan pengikisan budaya feodal, melalui penciptaan kultur egalitarian, menghindari kosentrasi kelas-kelas sosial dan memberdayakan layanan publik dengan pendekatan kerakyatan.
6. Perlu diupayakan pengikisan budaya feodal, melalui penciptaan kultur egalitarian, menghindari kosentrasi kelas-kelas sosial dan memberdayakan layanan publik dengan pendekatan kerakyatan.
Semoga
kita, terhidar dari sifat terla’nat iru dan menjadi manusia membela
kepentingan orang banyak dari pada kepentingan diri sendiri dan
keluarga,