Gerakan
membangun masyarakat madani Indonesia adalah sebuah pilihan tepat untuk
menjadikan bangsa dan negara ini benar-benar segera meraih
cita-citanya. Konsep
“Masyarakat Madani Indonesia” ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru.
Bangsa Indonesia telah memiliki dan melaksanakan konsep itu. Konsep
tersebut merupakan buah pemikiran para pendiri bangsa yang terdiri atas
para tokoh dari berbagai kalangan yang cukup representatif mewakili
semua elemen bangsa.
Istilah
“Madani”dalam konsep ini, sebenarnya sudah diimplementasikan pada 14
abad yang lalu di Madinah, kota yang dipimpin oleh seorang utusan Tuhan,
yaitu Nabi Muhammad saw. Hasilnya sangat mengagumkan. Hanya
dalam tempo 10 tahun, masyarakat Madinah berubah secara dramatis
menjadi masyarakat yang adil, makmur, dan damai. Keberhasilan itu diakui
oleh berbagai kalangan, hingga bekas-bekasnya masih bisa dirasakan
sampai sekarang ini.
Konsep
keberhasilan pembangunan masyarakat Madinah masih bisa dipelajari
hingga detail-detailnya. Berbagai dokumen yang menunjukkan tentang
bagaimana konsep dan cara mengimplementasikannya masih cukup tersedia.
Keunggulan bangsa Arab dalam menghafal dan menyimpan informasi dari
generasi ke generasi merupakan kekuatan dan keuntungan tersendiri hingga
jejak-jejak sejarah itu tidak hilang.
Melalui
dokumen sejarah yang terpelihara itu, maka dapat dipelajari dan
disimpulkan bagaimana membangun bangsa dan negara yang adil, makmur, dan sejahtera dalam
perspektif manusia dan masyarakat yang utuh, yaitu selalu mengedepankan
religiousitas, egaliter, demokrastis, kebersamaan, mengutamakan
keadilan, dan saling menghargai dan menghormati sesama.
Uraian berikut adalah gambaran masyarakat Madani dan pintu-pintu
strategis yang harus dilalui untuk mewujudkannya.
Keindahan Masyarakat Madinah
Akhir-akhir
ini, tuntutan agar bangsa ini segera berubah mulai semakin keras
disuarakan. Perubahan yang dimaksudkan adalah kearah yang lebih adil,
makmur dan sejahtera. Sudah
sekian lama bangsa ini merdeka, tetapi keadaannya belum sebagaimana
yang dicita-citakan. Kemiskinan, pengangguran, ketidak-adilan,
kesenjangan dan lain-lain, masih dirasakan oleh banyak orang di negeri
ini. Akibatnya, perasaan memiliki dan berdaulat belum sepenuhnya
dirasakan.
Bukti
kegagalan itu sebenarnya cukup banyak. Misalnya, kekayaan alam berupa
tambang, hasil hutan, perdagangan dan lain-lain, semakin dikuasai asing.
Bangsa
sendiri tetap menjadi buruh, dan bahkan harus pergi ke luar negeri
mencari kerja. Itulah sebabnya, mereka ingin berubah agar bisa hidup dan
menikmati kekayaan tanah kelahirannya sendiri. Namun gambaran seperti
apa, yang dimaksudkan sebagai kehidupan ideal yang diinginkan itu?
Rupanya perlu contoh yang tepat.
Dalam
sejarah bangsa-bangsa di dunia, masyarakat Madinah adalah contoh paling
ideal. Siapapun mengakui hal itu. Negara yang dibangun oleh Rasulullah,
dalam waktu yang tidak terlalu lama, yakni hanya 10 tahun menjadi maju,
damai, tenteram dan sejahtera. Sekalipun
masyarakatnya majemuk, terdiri atas kaum muhajirin dan kaum anshar, dan
bahkan ada pula yang Nasrani dan Yahudi, tetapi semuanya bisa hidup
rukun dan damai. Kehidupan dibangun atas dasar saling memahami,
menghargai, merasakan kebersamaan, dan bahkan juga berbagi kasih
sayang.
Semula
kota itu bernama Yatsrib, kemudian diubah oleh Nabi dengan nama yang
lebih indah, menjadi Madinah. Penyebutan nama “Madinah” ini
berlanjut hingga sekarang. Sedemikian indah terbayang oleh siapapun
terhadap gambaran kota itu, sehingga nama “Madinah” disebut sebagai kota
dan masyarakat ideal. Beberapa tahun terakhir, orang tatkala
mencita-citakan masyarakat ideal selalu menyebut istilah “Masyarakat
Madani”. Sebutan itu anehnya, sekalipun
diambil dari negeri Arab, ternyata disukai banyak kalangan, apapun latar
belakang agama, etnis, pendidikan, dan asal muasalnya.
Masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi hanya dalam kurun 10 tahun adalah masyarakat
yang besar semangat persatuannya dan kasih sayangnya antar
sesama.Orang-orang Anshar sebagai penduduk Yatsrib asli menerima dengan
gembira kedatangan kaum Muhajirin yang datang dari Makkah bersama Nabi.
Semua anggota masyarakat yang berbeda sekalipun dipersatukan atas dasar
keimanan, kebutuhan bekerjasama, dan akhlak mulia.Berbekalkan kejujuran,
kebersamaan, kasih sayang, suasana adil dan lain-lain, maka
menghasilkan tatanan kehidupan sosial yang ideal itu.
Semangat
bersatu dan hubungan-hubungan kasih sayang itu ternyata melahirkan
tatanan kehidupan yang tentram, adil, saling menghargai dan menjaga,
sehingga kesejahteraan lahir dan batin berhasil diraih. Kedamaian
masyarakat Madinah yang dibangun oleh Rasulullah sejak 14 abad yang
lalu, sekarang ini bekas-bekasnya masih dengan mudah terasakan. Suatu
saat, saya berbelanja di kota itu. Ada sesuatu yang saya khawatirkan
akanhilang karena banyaknya orang. Pada saat berbelanja itu, seorang
penduduk Madinah yang mengerti kegundahan saya mengatakan, “Jangan khawatir! Anda sedang berada di Madinatul Munawwarah”, yaitu kota yang dipenuhi cahaya kebenaran.
Mempersatukan dan menebar Kasih Sayang Kepada Semua Bagi
masyarakat Madinah,
bersatu merupakan keindahan dan sangat diidolakan.Bersatu dan bersama
dijadikan landasan utama untuk maju, adil, makmur dan sejahtera. Apapun
keadaannya harus bersatu. Bahkan untuk membangun persatuan itu, selain
dilakukan dengan pendekatan personal, kelompok, juga dilakukan secara
resmiyang dijalinmelaluiperjanjian secara formal. Kita mengetahui bahwa
ketika itu Nabi bersama masyarakat Nasrani dan Yahudi menandatangani
naskah perjanjian yang disebut “Piagam Madinah”.Dengan perjanjian itu semua merasa memiliki hak yang sama dan tidak saling dirugikan. Kasih
sayang pemimpin yang dilakukan dan dicontohkan oleh Nabi sendiri tidak
membedakan kepada siapapun. Nabi sebagai pemimpin tidak mengutamakan
orang-orang dekat, keluarga, atau sekelompok agamanya. Bahkan dalam
membangun keadilan, Nabi pernah bersabda, “Umpama Fathimah (putri nabi) mencuri, maka aku (Nabi) sendiri yang akan memotong tangannya”. Hak-hak
dan kedaulatan pribadi bagi semua orang, diakui, dihormatidan
dihargai.Kepada siapapun yang perlu dibantu, tidak perlu ditanya tentang
siapa dan dari mana asal muasalnya.
Selain
jujur, contoh keindahan lainnya adalah kepedulian terhadap orang
miskin. Ternyata Nabi, sekalipun juga menjadi kepala pemerintahan, masih
punya kesibukan pribadi yang secara diam-diam dilakukan, yaitu memberi
makan orang buta yang biasa mangkal di pinggir pasar. Tanpa diberi
sesuatu, orang ini tidak akan bisa hidup, karena tidak bekerja dan juga
tidak memiliki apa-apa. Bahkan, kasih sayang Nabi itu tidak saja berupa
kesediaan mengantar makanan, melainkan juga menyuapkan makanan itu kepadanya.
Orang
buta itu itu rupanya juga sadar bahwa posisinya adalah sedang ditolong
dan seharusnya membalas kebaikan itu dengan berterima kasih. Oleh karena
tidak memiliki apa-apa, ia membalas dengan nasehat yang diulang-ulang
setiap disuapi. Nasehatnya itu adalah agar tidak dekat-dekat dengan
orang jelek bernama Muhammad yang selalu mengaku-ngaku sebagai nabi.
Atas nesehat itu Nabi tidak marah, dan juga tidak berhenti dari kegiatan
menyuapinya sehari-hari. Nabi juga tidak pernah memberi tahu bahwa ia
adalah bernama Muhammad yang disebut jelek itu.
Apa yang dilakukan oleh Nabi, yaitu
mengantar makanan dan menyuapkannya secara halus dengan kasih sayang
itu tidak diketahui, termasuk oleh orang buta itu. Ia baru tahu bahwa
orang yang selalu menyuapi dirinya itu adalah orang yang selalu
disebut-sebut sebagai orang jelek dan mengaku-ngaku nabi bernama
Muhammad saw.,justru dari Abubakar, sahabat nabi yang menggantikan peran
mengantar dan menyuapi makanansetelah Nabi meninggal dunia.Tentu saja,
orang buta itu menyesal sejadi-jadinya dan akhirnya bersyahadat.Kisah
ini menggambarkan bahwa pemimpin itu sedemikian sabar, ikhlas, kasih
sayang, halus, dekat, dan kepada siapapun.
Mendekatkan Umat pada Tempat Ibadah dan Membangun Tradisi Ilmu
Selain
mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar, serta membuat perjanjian
dengan kelompok Nasrani dan Yahudi, Nabi Muhammad membangun masjid.
Masjid Quba’ adalah yang dibangun pertama kali oleh Nabi. Lewat sarana
tempat ibadah, maka umat dengan mudah terkonsolidasi dan terkoordinasi. Masjid
selain untuk menjalankan kegiatan ritual, juga untuk mempersatukan, dan
bahkan untuk memperkaya ilmu pengetahuan bagi umat Islam.
Nabi memang tidak bisa membaca. Dalam al-Qur’an, Nabi disebut sebagai seorang ummi, yaitu tidak bisa membaca dan menulis, tetapi beliau sangat menghargai tulis baca. Para
tawanan perang dipekerjakan untuk memberantas buta aksara. Kelemahan di
bidang tulis baca itulah yang tidak boleh ditiru oleh umatnya. Tentu
manakala mau, sekedar kemampuan menulis dan membaca, akandengan mudah
dikuasai oleh Nabi. Akan tetapi, ada sesuatu rahasia atau kegunaan dari
kelemahan Nabi dalam soal baca tulis tersebut.
Sehari
semalam, Nabi selalu bertemu umatnya di masjid hingga setidaknya lima
kali. Menurut riwayat, Nabi tidak pernah shalat lima waktu di tempat
lain kecuali di masjid dan itu selalu dilakukan dengan berjama’ah.
Pemimpin
dan umatnya sehari-hari dipersatukan oleh kegiatan ritual, ilmu dalam
bentuk wahyu, dan lain-lain.Pemimpin dalam hal ini adalah Nabi selalu
diikuti ucapannya, sekaligus juga perilaku dan tindakannya. Hubungan
antara pemimpin dan yang dipimpin benar-benar menyatu. Itulah sebabnya,
umat Islam diumpamakan bagaikan satu bangunan, di antara
bagian-bagiannya saling memperkukuh.
Pada
saat itu, ilmu pengetahuan dan teknologi belum semaju sekarang. Akan
tetapi, semangat mencari ilmu sudah digelorakan oleh Nabi sendiri. Al-Qur’an menjelaskan bahwa “Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajad”. Juga dikatakan oleh Nabi bahwa “Mencari ilmu itu wajib bagi kaum muslimin dan muslimat dari ayunan hingga masuk liang lahat”. Dan juga disabdakan, “Carilah ilmu hingga sampai ke negeri China”. Semangat mencari ilmu pengetahuan digelorakan oleh Nabi sendiri. Nabi
selalu memberikan penghargaan lebih kepada orang-orang yang kaya ilmu.
Ali bin Abu Thalib, seorang sahabat Nabi, sekalipun masih muda,
dipercaya menjadi pemimpin, oleh karena dipandang memiliki kecerdasan
lebih dibanding sahabat lainnya.
Bimbingan Bertani dan Berniaga
Nabi
sudah sangat peduli pada persoalan ekonomi untuk menyangga kehidupan
sehari-hari.Pertanian dan perniagaan dikembangkan oleh Nabi. Madinah
merupakan tanah subur, sehingga cocok untuk pertanian.Setelah keadaan
aman, oleh karena tidak lagi mendapat ancaman dari kaum Quraisy dari
Makkah, Nabi mulai mengajak kaum Anshar dan kaum Muhajirin membuka tanah
pertanian secara bersama-sama. Lewat pertanian itu,
masyarakat Madinah menjadi makmur. Kurma yang paling berkualitas adalah
berasal dari Madinah. Sampai sekarang ini terkenal “kurma nabi” yang
harganya juga paling mahal.
Banyak
hadits Nabi yang menjelaskan tentang usaha bersama yang dilakukan oleh
kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dalam menjalankan usaha pertanian yang
dipentingkan adalah kebersamaan, kerja keras dan kejujuran. Hal menarik dalam
kerjasama, Nabi memberikan tuntunan bahwa dalam soal membagi hasil,
siapa yang bertugas membagi harus mengambil yang terakhir. Strategi
ini ditempuh agar rasa keadilan benar-benar diterapkan dan dirasakan
oleh semua pihak. Semua pihak dipersilahkan menjadi pembagi, asalkan mau
mengambil bagian terakhir.
Dalam hal perniagaan Nabi memiliki pengalaman banyak. Sejak
muda, sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad sudah membantu Khadijah,
seorang wanita pedagang besar,berdagang hingga ke negeri Syam. Atas
dasar pengalamannya yang panjang itu, banyak ahli sejarah menyebut,
Muhammad selain sebagai Rasul juga sebagai pedagang tangguh. Tentu dalam
berdagang hal yang sangat dikenal adalah kejujurannya. Nabi dalam
berdagang jujur terhadap siapapun.
Terkait
dengan perniagaan, ada kisah yang sangat menarik. Pada zaman Nabi,
pasar sudah diatur persis seperti pasar modern sekarang ini. Para
penjual buah-buahan seperti kurma, kacang-kacangan, sayuran, dan
lain-lain disatukan dalam satu lokasi. Demikian pula jenis dagangan
lainnya, misalnya pakaian, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Dalam
perniagaan, sama dengan pertanian, dikembangkan kepedulian sosial yang
sangat mendalam.
Pada
suatu saat, seorang pembeli datang kepada penjual dagangan di
pasar.Sebagaimana yang diajarkan oleh nabi, pedagang berusaha
menjelaskan ciri-ciri barang yang dijual secara jujur,jelas, dan juga
harganya masing-masing. Dalam Islam, tidak dibolehkan
menyembunyikan cacat dari barang yang diperdagangkan. Hal itu
dimaksudkan agar jual beli tidak melahirkan penyesalan dan mengganggu
keikhlasan.
Pernah
terjadi kasus jual beli, tatkala seorang calon pembeli sudah menyenangi
dan menyepakati harga barang yang diinginkan, maka calon pembeli
menyampaikan niatnya untuk membeli barang yang dimaksud. Anehnya,
penjual justru menyarankan agar yang bersangkutan membeli saja kepada
penjual barang yang samadi bagian sebelah. Pedagang itu menjamin bahwa
jenis, harga, dan kualitas barang di toko sebelah itu adalah sama.
Penjual itu mengatakan bahwa sehari itu, barang-barangnya sudah laku dan
sudah mendapatkan keuntungan yang cukup, sementara penjual di
sebelahnya belum ada satupun yang membeli. Dikatakan, bahwa penjual di
toko bagian sebelah perlu pembeli.
Gambaran
yang terjadi di dalam perilaku bisnis di kota Madinah semasa Nabi masih
hidup tersebut menunjukkan betapa keindahan yang luar biasa dalam
kehidupan bermasyarakat. Di dalam perdagangan pun terdapat
kebersamaan dan kepedulian yang diajarkan oleh Nabi. Mencari rizki boleh
bersaing, tetapi harus mempedulikan kehidupan orang lain. Nabi
mengajarkan bahwa tidak sempurna iman seseorang tatkala belum sanggup
mencintai orang lainsebagaimana mencintai dirinya sendiri. Nilai-nilai
luhur itu ternyata juga dijalankan dalam kehidupan berdagang, bertani,
dan lain-lain.
Demikian
itulah akhlakul karimah yang dikembangkan oleh Nabi sebagai utusan
Allah. Nilai-nilai mulia itu bisa dilaksanakan di dalam berbisnis,
manakala pasar juga diatur sedemikian rupa. Sebagaimana dikemukakan,
para pedagang tatkala berjualan telah dikelompok-kelompokkan sesuai
dengan jenisnya, sehingga pembeli bisa memilih barang dengan leluasa dan
bahkan bisa bekerjasama.Artinya pada saat itu, Nabi sudah mengatur
pasar.Akan tetapi, aturan itu dibuat bukan agar sebagian untung dan yang
lain rugi, melainkan agar semua saling ta’awun atau tolong-menolong
antar sesama.
Kemungkinan Me-Madinah-kan Indonesia
Me-Madinah-kan
Indonesia tidak perlu diartikan membawa budaya Arab ke Indonesia.
Berbeda antara budaya Arab dengan budaya Madinah yang dibangun oleh
Nabi. Nabi mengajarkan tentang kejujuran, kebersamaan, keikhlasan
menerima dan menghargai terhadap siapapun, menebarkan kasih sayang, dan
mengajak bekerjasama mengatasi problem-problem kehidupan, baik secara
individu maupun secara bersama-sama.
Semua
nilai-nilai tersebut sebenarnya adalah bersifat universal. Akan
tetapi, pada tataran implementasi, nilai-nilai itu belum dijalankan,
atau bahkan sulit dijalankan. Nabi menjalankan konsep itu bersama para
sahabatnya. Kuncinya adalah kejujuran, ketulusan, keikhlasan yang lalu
melahirkan ketaatan dan kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya. Para
pemimpinhendaknya dicintai melebihi cintanya terhadap orang lain dan
bahkan terhadap dirinya sendiri.
Apa
yang dilakukan oleh Nabi mestinya bisa dilakukan oleh siapapun di
tempat dan pada waktu yang lain. Posisi Utusan Tuhan itu adalah sebagai
contoh atau tauladan, sehingga seharusnya
dicontoh dan ditauladani, tidak terkecuali oleh bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia adalah majemuk, mayoritas muslim, terdiri atas
berbagai etnis, adat istiadat, agama, dan lain-lain, tetapi bersatu.
Gambaran itu seperti yang terjadi dulu di Madinah. Jargon yang dimiliki
sedemikian indah, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Artinya sekalipun berbeda-beda tetapi tetap satu, ialah bangsa Indonesia.
Namun
sayangnya, tidak sebagaimana terjadi di Madinah tempo dulu, persatuan
di negeri ini ternyata masih semu sehingga belum melahirkan
kesejahteraan bagi semua. Artinya, persatuan itu belum nyata dan kuat,
hingga masih perlu ditumbuh-kembangkan dan dipupuk kembali dalam
berbagai aspeknya, baik aspek ekonomi, politik, pendidikan, dan juga
budaya. Pada aspek ekonomi, bangsa ini masih bercerai berai. Hutan
misalnya, digunduli oleh segelintir orang, padahal kemudian akibatnya
terjadi banjir yang harus ditanggung oleh semua.
Masih
dalam bidang ekonomi, yaitu di dalam perdagangan, bangsa ini masih
terjajah. Kita lihat misalnya, bahwa apa saja masih diperoleh lewat
import. Komuditas yang semestinya diproduk sendiri, seperti beras,
jagung, kedelai, susu, terigu, dan bahkan garam, semuanya masih
mendatangkan dari luar negeri. Bangsa ini diajak oleh para pemimpinnya
sekedar menjadi pembeli, bukan sebaliknya,
yaitu sebagai penjual. Nabi Muhammad mengajak kaum Muhajirin dan
Anshar, serta masyarakat lainnya menjadi produsen dan bukan sekedar
konsumen. Daerah Khaibar yang sedemikian luas dijadikan lahan pertanian
untuk memenuhi kebutuhan semua rakyatnya.
Perdagangan
sebagai bagian strategis dari kegiatan ekonomi di Indonesia masih
timpang. Para pemilik modal dan teknologi diberikan kebebasan yang
seluas-luasnya untuk berusaha. Sementara itu, rakyat yang tidak bermodal
dan tidak memiliki ketrampilan dibiarkan bersaing dengan para pemodal
itu. Atas kebijakan itu, tambang, hutan, dan
berbagai potensi lain dikuasai hanya oleh sebagian kecil rakyat
Indonesia, sementara lainnya, menjadi buruh
dan menganggur. Tampak dari aspek ekonomi, bangsa ini belum memiliki
kedaulatan yang sebenarnya. Sementara itu, pendidikan belum
menyelesaikan masalah pengangguran dan bahkan sebaliknya, justru pada
setiap tahun menambah persoalan itu.
Rakyat
Indonesia masih menjadi buruh di negerinya sendiri.Lebih ironis lagi,
sekedar peluang menjadi buruh pun juga terbatas, hingga akibatnya tidak
sedikit TKI yang harus hengkang, mencari pekerjaan ke negeri orang. Nabi
mengatur masyarakat Madinah hingga semua merasa diperlakukan secara
adil. Nabi dalam hal-hal tertentu ikut mengatur secara langsung agar
semua orang merasa diperlakukan secara sama.
Keadaan
ekonomi bangsa yang belum menyenangkan ini, sebenarnya masih bisa
diubah atau diperbaiki, asalkan semua pihak mau dan bersedia mencontoh
apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw dalam membangun masyarakat
Madinah. Kata kunci keberhasilan itu adalah pemimpinnya harus sanggup
mencintai dan dicintai, semua harus memiliki komitmen dan integritas
yang tinggi terhadap bangsanya, memiliki jiwa patriot dan nasionalisme
yang tinggi, peduli terhadap semua, ada kesediaan untuk bersatu, mau
menghargai sesama, dan tentu sanggup bekerjasama, berjuang dan dikuti
oleh kesediaan berkorban. Selain kelemahan di bidang ekonomi, persatuan bangsa ternyata juga belum terlalu kokoh. Persatuan
yang dihasilkan baru berada di tataran permukaan. Banyak hal yang
dijalankan hanya pada tataran semu, formalitas, seolah-olah, dan tidak
sepenuh hati. Ada dua wilayah yang seringkali tidak sejalan, yaitu
wilayah lahir dan wilayah batin, wilayah yang diucapkan dan wilayah yang
dijalankan, keduanya kadang kontradiktif. Nabi mengajarkan agar suasana
paradog itu dihilangkan. Nabi mengajarkan bahwa antara yang dipikirkan,
dirasakan dan dijalankan, menyatu dan benar-benar padu. Bahkan
dinyatakan bahwa aktifitas harus sejalan dengan niatnya.
Dokumen tentang Cita-cita Bangsa
Bangsa Indonesia sudah lama ingin maju, berkembang, unggul, dan jaya sebagaimana bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Cita-cita
itu sebenarnya tidak saja masih berada di angan-angan, melainkan sudah
dituangkan di dalam dokumen resmi. Pancasila, UUD 1945, dan banyak
dukumen lainnya telah merumuskan dengan baik cita-cita tersebut. Menurut
dokumen itu, bangsa Indonesia menginginkan menjadi bangsa yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusaiaan yang adil dan beradab,
bersatu, dan membangun kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dan perwakilan serta menginginkan agar terbangun suasana
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sedemikian
indah cita-cita itu, tetapi sekalipun kemerdekaan sudah diraih sejak 67
tahun yang lalu, keadaan bangsa ini belum menggembirakan. Benar bahwa
sudah banyak rakyat yang berhasil mengenyam pendidikan hingga perguruan
tinggi. Lembaga pendidikan sudah menyebar,tidak saja di kota-kota besar,
tetapi hingga di kota-kota kecil sudah tersedia sekolah menengah, dan
bahkan perguruan tinggi negeri dan swasta.Selain itu, partisipasi
masyarakat terhadap pendidikan juga luar biasa besarnya.Organisasi
sosial dan juga keagamaan berpacu ikut serta membangun
pendidikan hingga dari aspek jumlah keberadaan lembaga pendidikan,
termasuk perguruan tinggi, sudah melebihi negara manapun di dunia.
Begitu
juga untuk membangun masyarakat beragama, sudah puluhan ribu tempat
ibadah berhasil didirikan oleh masyarakat sendiri. Jumlah masjid,
gereja, pura, vihara, klenteng telah ada di mana-mana. Hampir-hampir
tidak ada di suatu daerah yang kekurangan masjid, gereja dan atau jenis
tempat ibadah agama lainnya. Semangat masyarakat yang sedemikianbesar
dalam membangun tempat ibadah menjadikan pemerintrah justru kadang
dibuat repot. Kerepotan itu bukan dalam hal menyediakan dana untuk
membangunnya, melainkan tatkala harus mengatur agar tidak terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan di tengah masyarakat. Sehingga, sekalipun
negara menganut paham Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk membangun
tempat ibadah tidak memerlukan campur tangan pemerintah.
Cita-cita
bangsa Indonesia yang sudah sedemikian jelas, indah dan begitu pula
partisipasi masyarakat yang sedemikian tinggi, namun ternyata belum
menjamin rakyat segera menjadi makmur dan sejahtera. Secara
politik,kepemimpinan telah dipilih lewat cara-cara demokratis, birokrasi
telah disusun secara profesional, upaya-upaya penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi telah dilakukan secara maksimal, tetapi ternyata
rakyat yang miskin masih banyak jumlahnya, lapangan pekerjaan masih
terbatas, kesenjangan sosial masih lebar, dan pengangguran masih banyak
jumlahnya. Gambaran lain yang memprihatinkan adalah besarnya jumlah
migrasi berpendidikan rendah tanpa ketrampilan ke luar negeri. Mereka
ituhanya sekedar mendapatkan upah yang cukup untuk menyambung hidup.
Demikian
pula, usaha kecil di dalam negeri, semakin dikalahkan oleh pengusaha
bermodal besar, padat teknologi, dan mendapat fasilitas dari
pemerintah.Kita lihat Alfamart, Indomaret, Carrefour, dan lain-lain
bermunculan di hampir semua tempat.Akibatnya, usaha kecil sebagai
penyangga ekonomi rakyat banyak yang mati.Mereka menjadi kehilangan
lapangan usaha sehingga menambah angka pengangguran.Artinya,
pemberdayaan masyarakat secara ekonomi belum mendapatkan perhatian.
Masyarakat belum memiliki kedaulatan di negerinya sendiri. Penjajahan
ekonomi oleh kelompok dan orang-orangtertentu merupakan penindasan dan
merampas hak hidup pemilik negeri ini yang sebenarnya.
Oleh
karena itu, manakala semua pihak mau jujur, kelemahan bangsa Indonesia
ini adalah pada tataran implementasi.Menyusun cita-cita, undang-undang,
peraturan, dan sejenisnya sudah sedemikian jelas, tetapi hal itu belum
diimplementasikan atau dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan benar. Kelemahan
itu sebenarnya bisa diatasi manakala bangsa ini bisa bersatu. Umat
Islam seharusnya bersatu, apapun madzhab, aliran, organisasi, dan asal
muasalnya. Persatuan hendaknya dijadikan cita-cita, idaman, dan muara
dari semua perjuangan.
Menjadikan Madinah sebagai Paradigma dalam Membangun Bangsa
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius, plural atau majemuk, sedang
menjalankan sistem demokrasi, menghargai Hak-Hak Azasi Manusia,
menjunjung tinggi kemerdekaan bagi semua orang, maka sebenarnya
paradigma Madinah adalah sangat tepat dikembangkan dan diimplementasikan
di negeri ini. Menggunakan paradigma Madinah bukan berarti
mundur atau mengembalikan jarum jam sejarah. Sebab pada hakekatnya
negara yang dibangun oleh Nabi Muhammad adalah tatanan kehidupan yang
amat modern.
Selain
itu, untuk mengimplementasikan paradigma Madinah bagi bangsa Indonesia
tidak akan mengalami kesulitan. Berbagai pilar yang terkait dengan
filosofi bangsa yang dibangun, konstitusi kenegaraan, dan pandangan
hidup yang dikembangkan, sebenarnya sudah tersedia. Pancasila,UUD 1945,
Konsep NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang selama ini dijadikan sebagai
pilar-pilar bangsa sudah tergambar dalam konsep masyarakat Madinah.
Kesamaan lain yang ingin dikembangkan oleh bangsa Indonesia dengan
Masyarakat Madinah adalah menyangkut visi pembangunan bangsa. Kemajuan
bangsa bukan saja diukur dari aspek-aspek fisik, melainkan juga
aspek-aspek yang terdalam dari kehidupan manusia, yaitu aspek spiritual,
intelektual, profesional dan akhlak secara utuh atau holistik.
Kegagalan,
kalau boleh dikatakan seperti itu, dari bangsa Indonesia bukan pada
tataran teoritik, konsep, paradigma, atau dasar-dasar yang dijadikan
landasan untuk membangun bangsa, melainkan pada tataran implementatif.
Semua orang meyakini dan mengagumi betapa luhur dan mulia cita-cita
bangsa, baik yang bisa dipahami dari falsafah bangsa Indonesia, ialah
Pancasila, maupun dari cita-cita yang lebih operasional yang
tertuang dalam UUD 1945. Demikian pula, sistem pemerintahan dan
kelembagaan negara, semua sudah sempurna. Bangsa ini sebenarnya tidak
perlu lagi menyusun konsep atau bahkan falsafah baru yang akan
diterapkan. Semboyan yang disuarakan dari semua kalangan sudah tegas,
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah merupakan
harga mati yang tidak boleh diubah-ubah.
Untuk
mewujudkan cita-cita bangsa ini yang masih sangat perlu dibenahi,
sekali lagi, adalah pada tataran implementasi. Sebagai bangsa yang
religius, semestinya sangat tepat manakala masyarakatnya
didekatkan kepada kitab suci agama masing-masing, tempat ibadah yang
bersangkutan, dan juga tokoh ideal yang menjadi panutannya. Kelemahan
selama ini, sebagai bangsa yang mengaku religius ternyatamasih menjauh
dari agamanya.Padahal pada masing-masing ajaran agama itu terdapat nilai
luhur yang sangat tepat dijadikan pedoman hidup sepenuhnya.
Selanjutnya,
sebagai bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi, kemanusiaan, persatuan dan keadilan, ternyata dalam praktek
masih selalu terabaikan. Sedemikian mudah ditemui kesenjangan antara
yang miskin dan yang kaya. Pada lautan kemiskinan terdapat beberapa
orang atau kelompok yang memiliki akses ekonomi yang tidak terukur
banyaknya. Di tengah-tengah negara yang masih disebut miskin dan
tertinggal, tetapi memiliki beberapa orang masuk kategori terkaya di
dunia. Hal ini sangat ironis.Kenyataan itu menunjukkan bahwa negeri ini
belum berhasil membangun kemanusiaan, keadilan dan kebersamaan yang
menjadi cita-cita bangsa ini.
Demikian
pula, keadilan masih menjadi barang langka di negeri ini. Masyarakat
kecil, seperti orang yang sekedar mengambil semangka, setandan pisang,
beberapa biji kakau, dan bahkan pengambil sandal jepit harus dijerat
hukum, sementara itu orang-orang kaya dan berkuasa tatkala terkena kasus
hukum, justru diabaikan.Mereka bisa bebas hanya karena memiliki uang.
Keadilan di negeri ini belum berhasil ditegakkan. Belum lagi persoalan
nepotisme, kolusi, dan korupsi, semua itu seolah-olah menjadi sesuatu
yang lazim. Moral dan akhlak para pemimpin bangsa di berbagai bagian dan
level terdegradasi hingga batas yang sudah tidak boleh ditoleransi.
Konsep
masyarakat Madinah yang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi,
kejujuran, keadilan, amanah, kasih sayang, saling menghargai bagi semua,
dan pembagian informasi secara adil, semestinya dijadikan paradigma di
dalam membangun bangsa ini.Untuk mengimplementasikan itu semua, perlu
ada kekuatan yang memiliki legalitas, orang-orang yang berdedikasi dan
berintegritas tinggi, memiliki moral atau akhlak, semangat juang yang
tinggi, bekerja untuk semua. Betapa
bobroknya masyarakat Arab pada zaman Nabi, hingga disebut sebagai
masyarakat jahiliyah, tetapi ternyata konsep atau paradigma madani
berhasil membangun tatanan kehidupan yang ideal. Kuncinya adalah adanya
konsep yang dibarengi dengan implementasi yang tepat.Bangsa Indonesia
telah memiliki konsep ideal yang menyerupai konsep madani.Hal yang
tersisa adalah kemampuan dan kemauan mengimplementasikannya.Oleh karena
itu, yang diperlukan adalah sekelompok pemimpin yang jujur, adil,
memiliki keikhlasan, menyandang semangat juang dan sekaligus kesediaan
berkorban, siap menjadi tauladan, amanah, dan memiliki kecerdasan
berbagai aspek------intelektual, spiritual, sosial, dan profesional.Wallahu a’lam.