Begitu
marak tayangan mengenai koruptor di media elektronik dan media cetak
selama ini, namun yang mengherankan adalah melihat perilaku mereka yang
seolaholah tidak bersalah, malahan selalu tersenyum di depan kamera
wartawan.
Koruptor atau dapat diidentikkan dengan maling memang hanya di
Indonesia saja yang berlagak seperti selebritas, selalu dikejar
wartawan.
Masalah korupsi memang sangatlah sensitif untuk dibicarakan. Korupsi
di Indonesia bukan lagi membudaya, melainkan lebih dari itu, sudah
menjadi seni berkorupsi, bahkan hampir menjadi bagian dari lifestyle.
Kalau kita kaji secara etimologi saja, asalkata“korupsi” berasaldari
bahasaLatin,“corruptio” dari kata kerja “corrumpere” yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok.
Artinya adalah serangkaian tindakan pejabat publik, baik pejabat
politik maupun pegawai negeri serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal telah
menyalahgunakan kepercayaan rakyat yang diamanahkan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Definisi korupsi, menurut Purwadarminta, adalah tindakan menyalahgunakan
jabatan yang mengakibatkan kerugian negara.
Dampak dari definisi yang seperti ini, apabila seorang pejabat
melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan jabatannya, tapi
tidak merugikan negara, tidak bisa dikatakan korupsi. Praktik seperti
inilah yang menjadi korupsi terselubung, yang tidak bisa dituntut secara
hukum, karena tidak dikategorikan merugikan negara. Tetapi, bila kita
menggunakan definisi korupsi yang dikeluarkan WHO, yang dalam salah satu
kalimatnya disebutkan bahwa yang masuk perbuatan korupsi bila
mengandung unsur “mengambil yang bukan haknya”, praktik di atas termasuk
kategori korupsi.
Harus kita akui bersama bahwa memberantas korupsi di Indonesia
tidaklah mudah karena sudah mendarah daging, juga diperparah karena
justru akar masalahnya ada pada para aparatur negara kita sendiri. Dari
data yang ada di KPK, pelaku korupsi di Indonesia sebesar 90% aparat
negara mulai dari atas sampai yang paling bawah. Mulai pejabat
kementerian, lembaga pemerintahan pusat, sampai petugas di
kampung-kampung melakukannya.
Sedangkan sisanya 10% dilakukan oleh swasta. Korupsi berakibat pada
penurunan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap tindakan adil pemerintah. Politisi dan pegawai negeri yang
masuk kelompok elite saja bersikap korup. Rakyat kecil pun tidak
memiliki alasan untuk tidak melakukan apa saja yang membawa keuntungan
bagi dirinya sebab yang dijadikan panutan memberikan keteladanan yang
buruk. Para koruptor tidak mungkin akan memperjuangkan kebenaran dan
keadilan karena itu akan membatasi ruang geraknya sendiri untuk
melakukan korupsi.
Korupsi pasti akan menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan
orang yang memberikan suap/sogokan dan kurang keberpihakannya kepada
kebenaran dan kepentingan masyarakat. Orangorang yang tidak mau berbuat
korupsi boleh jadi akan dituduh di depan umum oleh temannya sendiri yang
sebenarnya koruptor yang sesungguhnya. Korupsi dapat mengakibatkan
keputusan akan dipertimbangkan berdasarkan uang pelicin, bukan
berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Saat ini sudah terbentuk jaringan korupsi (corruption network)
meliputi birokrat, politisi, aparat penegak hukum, aparat keamanan
negara, perusahaan-perusahaan negara dan swasta tertentu, serta
lembagalembaga hukum, pendidikan, dan penelitian yang seolah-olah t e r k
e s a n “ilmiah” terhadap apa yang merupakan kebijakan jaringan itu.
Katakanlah semacam mencari pembenaran. Jaringan itu bisa berlingkup
regional dan nasional bahkan internasional sekalipun.
Dengan demikian, para pelaku praktik korupsi atau koruptor itu tidak
hanya sekadar meraup uang negara, tapi juga akan mengemas hasil
korupsinya dengan lebih cantik agar KPK pun susah membedakan aliran dana
antara yang haram dan halal dengan cara dicuci supaya terlihat seperti
bersih.
Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa sebenarnya koruptor
adalah seseorang atau sekelompok orang yang selalu mengatakan kami telah
banyak berjuang untuk rakyat, sementara yang mereka perjuangkan adalah
sebaliknya. Mereka dapat mengangkat sekaligus memberhentikanseorang
pejabat sesuka hatinya dengan alasan kebutuhan organisasi. Mereka selalu
berusaha membuat peraturan perundang- undangan yang katanya untuk
kepentingan rakyat.
Mereka selalu berpikir praktis kalau korupsi mudah dilakukan, tetapi
sulit dibuktikan karena mereka memang orang yang mempunyai intelektual
tinggi dan berkuasa baik itu orang kaya maupun pejabat. Sebab itu, mana
mungkin korupsi bisa dilakukan oleh orang bodoh, miskin, dan rakyat
jelata kalau tidak atas arahan yang punya kemampuan tersebut di atas.
Belakangan ini mereka bahkan selalu tampil di hadapan rakyat bak
malaikat pencabut nyawa baik melalui media elektronik, cetak, ataupun
jejaring sosial dan menasihati rakyat untuk tidak ikut-ikutan melakukan
korupsi seperti dirinya karena akan dibasmi apabila tidak seiring
sejalan dengannya. Itulah sebabnya, kejahatan seperti itu disebut white
color crime (kejahatan kerah putih).
Demikianlah fakta dari penegakan hukum yang sering terjadi, di mana
koruptor yang lebih berkuasa membasmi koruptor yang lebih lemah
berdasarkan hierarki saja. Langsung ataupun tidak langsung hal seperti
inilah yang akan menjadi celah seorang pemimpin kehilangan
kewibawaannya, bahkan tidak mustahil dapat menimbulkan pemberontakan
anak buah bahkan rakyat s e k a l i g u s .
Mereka tahu persis apa yang telah dan sedang dilakukan atasannya atau
penguasa negeri (aparatur negara), tapi dengan kekuasaan mereka
bertindak seolah-olah menertibkan anak buahnya ataupun rakyatnya,
padahal saat yang sama mereka sedang melakukan perbuatan koruptif.
Korupsi selalu akan terjadi apabila para penguasa meletakkan kepentingan
pribadinya di atas kepentingan rakyat yang dilayaninya.
Bagaikan roman picisan saja. Sungguh amat memalukan karena hanya
berani menindas yang lemah, sementara untuk menertibkan dirinya saja
mereka tidak mampu. Akhirnya tindakan para penguasa dapat saya
kategorikan sebagai kleptokrasi yang arti harfiahnya adalah pemerintahan
oleh para pencuri. Mereka pura-pura bertindak jujur dan dari dulu
sampai sekarang mereka hanya senang berwacana tentang suatu “perubahan”,
tapi tidak sungguh-sungguh mau mewujudkannya.
Wacana yang dikumandangkan hanyalah untuk pencitraan, ibarat pakaian
indah yang menutupi aurat. Saat ini sering kita hidup dalam euforia
kata-kata yang indah, tapi tidak dalam perilaku yang benar. Akhirnya
hukum pun diperkosa dengan indahnya oleh mereka yang punya uang dan yang
miskin ditindas adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Bahkan masih terlalu banyak koruptor yang tidak tersentuh hukum
karena satu kejahatan mengawasi kejahatan yang satunya. Pejabat yang
satu mengawasi satu pejabat lain sesuai hierarkinya. Tidak adil rasanya
apabila menguji moral seseorang, tapi diuji oleh orang yang moralnya
lebih rendah hanya karena jabatannya lebih tinggi.
*** Namun, bagi kita generasi muda, tidakadaistilahmenyerah karena
tidak ada pilihan lain kecuali memberantas korupsi sampai ke
akar-akarnya dan sesuatu yang harus kita perjuangkan. Apalagi wabah
korupsi di Indonesia saat ini sudah menjadi penyakit mematikan yang
sulit untuk disembuhkan, pemberantasannya harus dilakukan secara masif.
Justru yang kita hadapi adalah mereka yang sedang diberi kekuasaan oleh
rakyat, tapi sedang mabuk oleh hawa nafsu.
Jika orang yang tidak berakhlak memerintah dan rakyat menerima;
apabila segala sesuatu menjadi korup, tetapi mayoritasnya diam saja
karena bagian untuk mereka sedang menunggu, kehancuran bangsa adalah
buahnya. Apalagi kalau pemimpin yang ada sudah tidak bisa dihargai lagi.
Kita membutuhkan kehadiran pemimpin yang benar, bukan hanya banyak
bicara yang bagus, tapi tidak memberi keteladanan dalam kehidupannya
atau dia sendiri koruptor.
Yakinlah kalau di atas rapi dan tertib, pastilah yang di bawah akan
tertib dan rapi juga. Ibarat kita mandi kalau mau bersih “Ya bilaslah
mulai dari kepala, bukan cuma cuci tangan…” seperti yang selalu terjadi
selama ini. Memberantas korupsi tidaklah bisa hanya slogan semata atau
wacana, tapi harus melalui proses perubahan sistem itu sendiri di mana
seseorang harus berani berkata “tidak” terhadap perilaku koruptif
sekalipun kesempatan itu ada dan tentu harus tangguh menghadapi
corruptor fight back dengan segala risikonya.
Keberanian seperti itu penting untuk dimiliki karena sel kanker
korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel
kankernya, kemudian memastikan generasi-generasinya tetap bersih dan
memusnahkan budaya-budaya yang mengindikasikan korupsi. Semua langkah
pemberantasan korupsi di atas harus diiringi dengan menumbuh kembangkan
budaya zero tolerance to corruption.
Mari generasi muda bangsa kita bersatu untuk melakukan yang terbaik
bagi bangsa dan negara ini, mulai dari diri kita sendiri, keluarga,
teman, dan lingkungan sekitar untuk memberantas kasus korupsi yang sudah
menjadi wabah penyakit menular di negara tercinta ini supaya negara
Indonesia bebas dari para koruptor.
Semoga dengan optimisme yang kuat dan motivasi yang tulus dalam diri
kita serta jalinan kerja sama yang saling menguatkan kita dapat
memberantas para koruptor di negara Indonesia tercinta ini. Amin!!!