Ada diktum, “kalau anda ingin memahami budaya sebuah masyarakat,
kunjungilah pasarnya”. Tentu yang dimaksud pasar itu adalah pasar
tradisional. Bukan swalayan, hypermart ataupun ritel-ritel modern. Diktum itu mungkin ada benarnya.
Sebab, di pasar tradisional lah kita bisa melihat secara utuh budaya
masyarakat setempat. Di pasar itu lah kita bisa melihat barang apa yang
dikonsumsi masyarakat dan apa yang akan mereka masak untuk keluarga
mereka.
Di pasar juga lah kita bisa melihat percampuran sosial antarbudaya
yang berbeda dan wujud nyata toleransi. Selain itu, di sana kita bisa
melihat proses tawar-menawar barang sehingga mencapai keseimbangan harga
antara pembeli dan penjual. Melihat keberadaannya itu, tak heran jika
pasar tradisional dicap punya dua fungsi: rumah ekonomi dan sekaligus
rumah budaya (Basri et al, 2012).
Dari fungsinya itu tercermin kesempatan terhadap akses ekonomi.
Lebih dari itu, dalam aktivitas pasar tradisional terdapat partisipasi
dan kegotong-royongan yang melibatkan interaksi sosial masyarakat
setempat.
Dengan demikian, pasar tradisional adalah refleksi nyata dari demokrasi ekonomi yang menjunjung tinggi prinsip equality (Firmanzah dan Halim, 2012). Dan inilah yang sebenarnya diinginkan oleh UUD 1945 pasal 1, 2, 3, 4, dan 5.
Dalam beberapa kasus, interaksi sosial di antara mereka menimbulkan dan menguatkan modal sosial (social capital).
Sederhananya, modal sosial adalah “serangkaian nilai atau norma-norma
informal yang dimiliki bersama di antara anggota masyarakat”. Kebajikan
sosial seperti kejujuran, keterandalan, kesediaan bekerja sama, dan
kepercayaan (trust) adalah elemen-lemen dari modal sosial (Fukuyama, 2002).
Namun kini, rumah budaya dan rumah ekonomi itu habis tergerus
kemajuan ekonomi kapitalistik. Perannya lambat laun tergantikan oleh
swalayan, hypermart dan ritel-ritel modern.
Hampir di setiap penjuru daerah, kita bisa menyaksikan hypermart dan ritel modern berdiri megah. Bahkan berdiri di tengah pasar tradisional.
Survey yang dilakukan AC Nielsen (2010) melaporkan bahwa tingkat
pertumbuhan pasar tradisional menurun 8,01% per tahun. Sedangkan pasar
modern (hypermarket) meningkat 31,4%.
Sementara menurut kajian SMERU, terjadi peningkatan pangsa pasar
supermarket terhadap total pangsa pasar industri makanan yang cukup
tajam dari 11% menjadi 40%. Penjualan supermarket pun tumbuh rata-rata
15% per tahun. Sedangkan penjualan pedagang tradisional turun 2% per
tahun dalam rentang 2000-2010.
Gejala Liberalisasi
Membaca data itu, pasar tradisional terpaksa berhadapan dengan pasar
modern. Penentuan nasip ekonomi masing-masing pihak lantas ditentukan
oleh mekanisme pasar. Yang efisien, inovatif, dan kuat modal akan
menang. Di titik ini, kita sudah bisa menduga siapa yang menjadi
pemenang.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, tanggung jawab
maju-mundurnya pasar tradisional sebenarnya berada di tangan pemerintah
daerah. Sebab, dalam PP. No. 38/2007 dinyatakan bahwa urusan penataan
pasar dilimpahkan pada pemerintah daerah. Dan dengan demikian,
pemerintah daerah berkewajiban mengurusnya.
Makanya, maraknya ritel modern dan mundurnya keberadaan pasar
tradisional sebenarnya dosa pemerintah daerah. Boleh jadi liberalisasi
potensi ekonomi daerah justru muncul dari daerah.
Kebijakan daerah lah yang dengan sadar ataupun tidak mendorong proses
pelemahan basis ekonomi kerakyatan. Betapa tidak. Ritel modern adalah
lumbung bagi pendapatan asli daerah (PAD).
Yang jadi soal bukan lah melarang setiap pihak untuk berusaha. Tetapi
berusaha tanpa mengindahkan aspek regulasi dan kepentingan masyarakat
banyak justru akan menimbulkan ketidakadilan. Jaminan akan keadilan dan
keseimbangan persaingan inilah yang hendak kita wujudkan.
Makanya, di sinilah letak pentingnya peran pemerintah. Jaminan akan
kondisi persaingan yang adil dan seimbang menjadi kewajiban pemerintah
untuk menciptakannya.
Tidak mudah memang mengambil keputusan di tengah pilihan
mempertahankan eksistensi toko-toko kelontong di tengah godaan derasnya
aliran modal skala besar. Tapi bagaimanapun, kebijakan yang berdasar
pada ciri keindonesiaan yang berdemokrasi ekonomi-Pancasila, mesti
menjadi pilihan.
Kongkritnya, pertama, bina pasar tradisional dengan sejumlah
pola, instrumen dan strategi pemberdayaan. Hal tersebut tentu harus
didekati bukan hanya dengan pendekatan struktural, tetapi juga kultural.
Sebab pendekatan struktural selama ini punya kesan buruk yang justru
kontraproduktif terhadap upaya-upaya pemberdayaan. Oleh karenanya,
pendekatan ini dipandang sebagai alat untuk menggusur para pedagang.
Sebaliknya, dengan pendekatan kultural maka setiap daerah berbeda
perlakuannya. Sebab masing-masing daerah punya ciri khas budaya yang
berbeda dengan daerah lainnya. Pendekatan ini mengadopasi nilai
kebinekaan dalam praksis kebijakan.
Praktik terbaik (best practice) yang bisa menjadi contoh
adalah pembinaan pedagang tradisional Kota Solo. Tetapi sekali lagi,
pendekatan kultural di Kota Solo belum tentu ampuh diterapkan di daerah
lain.
Oleh karena itu, pemerintah daerah setempatlah yang mengetahui
pendekatan kultural seperti apa yang mampu menjawab persoalan pasar
tradisional daerah mereka.
Kedua, tata ritel modern dengan pendekatan zonasi. apalagi pendekatan ini didukung oleh seperangkat regulasi.
Peran Daerah
Di level pemerintah pusat, kebijakan yang berpihak memang telah
digulirkan. Yang terakhir adalah Perpres No. 112/2007 tentang Peraturan
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Pembelanjaan dan Toko Modern.
Namun demikian, sejumlah regulasi itu mandul.
Selain itu, lemahnya tata kelola pemerintah daeah menambah amburadul
persoalan. Bentuknya adalah minimnya koordinasi antarlembaga atau dinas
yang ada.
Badan perijinan investasi hanya mempertimbangkan aspek kelengkapan
dokumen investasi, tanpa mempertimbangkan regulasi terkait. Sementara
dinas perdagangan hanya berfokus pada penataan pasca toko ritel dibuka.
Kalaupun badan perijinan sadar bahwa ada peraturan perundangan yang
harus dipatuhi oleh peritel, tampaknya mereka tutup mata. Boleh jadi
tindakan itu ditempuh karena proses suap-menyuap yang terjadi di seputar
perijinannya. Perselingkungan swasta-pemerintah ini pada akhirnya
merusak tatanan ekonomi masyarakat.
Insentif-Disinsentif
Pertanyaannya, mengapa sejumlah regulasi yang ada lumpuh dan seolah
tidak berarti apa-apa di daerah? Regulasi dibuat tapi daerah abai
terhadap regulasi itu.
Tragisnya, fenomena ini hampir terjadi pada semua bidang. Akhirnya,
regulasi hanya menjadi tumpukan dokumen tak berharga tanpa nyawa.
Thus, untuk itu lah kebijakan mengeluarkan regulasi mesti diiringi dengan penerapan instrumen ekonomi (economic instrument). Tanpa instrumen ekonomi, kebanyakan pemerintah daerah lebih menerapkan “kebijaksanaan” dari pada “kebijakan”.
Dalam konteks itu, Elinor Ostrom dan Oliver Williamson yang dinisbat
peraih nobel ekonomi 2009 menyatakan bahwa instrumen ekonomi jadi
penting dalam tata kelola ekonomi. Dan instrumen ini lah yang bisa
menstimulasi pemerintah daerah menerapkan regulasi yang ada.
Jadi, instrumen ekonomi ini sebenarnya dukungan pusat kepada
pemerintah daerah dalam mengembangkan pasar tradisional mereka.
Bentuknya bisa bermacam-macam.
Salah satunya adalah pola insentif dan disinsentif. Dari sisi
insentif, pemerintah pusat dapat mempertimbangkan bentuk insentif fiskal
seperti dana transfer ke daerah. Atau nonfiskal seperti pemberian
penghargaan (award) bagi pemerintah daerah yang berhasil mengembangkan pasar tradisional.
Sebaliknya, disinsentif adalah instrumen untuk mencegah atau
membatasi penyimpangan dalam penerapan regulasi. Bentuknya juga bisa
fiskal dan nonfiskal.
Di sisi fiskal, pengurangan dana alokasi umum (DAU) bisa menjadi
pertimbangan disinsentif bagi daerah yang gagal dalam mengembangkan
pasar tradisional. Sementara di sisi nonfiskal, dapat berbentuk
publikasi daerah yang gagal berpihak pada pasar tradisional.
Namun demikian, kedua pola ini harus didukung dengan perangkat
penegakan hukum yang tegas. Selain itu, perlu juga dibuat instrumen agar
segenap masyarakat warga, khususnya pedagang tradisional bisa
berpartisipasi.
Sebab mengikuti pemikiran Ostrom dan Williamson tadi, tak mungkin
regulasi dan institusi-institusi ekonomi bergerak tanpa partisipasi
masyarakat warga. Partipasi inilah sebenarnya makna hakiki kenapa
otonomi daerah diterapkan.