Alokasi dana bantuan sosial di kementerian, lembaga, pemerintah daerah
menjadi salah satu sektor yang padanya paling banyak ditemukan
penyelewengan, korupsi.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah tahun 2012 menemukan adanya kelemahan dalam pengendalian belanja bantuan sosial (bansos). Kelemahan itu sudah dimulai sejak penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban. Bahkan, dalam hasil pemeriksaan tahun anggaran 2012, ditemukan Rp 31,66 triliun bansos yang bermasalah (Kompas, 13/6).Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya mengamini temuan BPK itu. Ia menyatakan bahwa selama hampir sembilan tahun berkuasa, penyimpangan keuangan negara di sektor pengelolaan dana bansos masih terjadi. Di sektor lain penyimpangan serupa juga terjadi: sektor pengadaan barang dan jasa, pengelolaan pajak, dan perizinan.
Minim aksi
Fakta penyimpangan dana bansos ini begitu nyata terlihat dari beberapa kasus korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di pihak lain, terdapat beberapa hasil investigasi lembaga masyarakat sipil dalam penyaluran dana bansos yang dilaporkan ke KPK, tetapi tak menunjukkan perkembangan apa pun.
Biasanya penyimpangan dana bansos dilakukan menjelang pemilihan umum kepala daerah: banyak dimanfaatkan petahana sebagai sarana kampanye gratisan. Hasil investigasi dalam penyaluran dana bansos menjelang pilkada di Banten (ICW) dan DKI Jakarta (IBC) yang dilaporkan ke KPK menjadi contoh paling konkret betapa dana bansos sangat mudah diselewengkan.
Pengakuan presiden atas kelemahan dalam pengelolaan dana bansos yang mengarah pada penyimpangan dan korupsi tidak dijawab dengan sebuah kebijakan nyata. Sejak periode pertama pemerintahan SBY, dalam Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (RAN-PK), tak satu pun instrumen pencegahan korupsi di sektor pengelolaan dana bansos yang digagas.
Pada periode kedua presiden juga terlihat ”gagap” dalam memperbaiki mekanisme pengelolaan dana bansos. Tiga tahun berturut-turut (2011, 2012, dan 2013) presiden bahkan telah menghasilkan Inpres Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Inpres No 9/2011, Inpres No 17/2011, dan Inpres No 1/2013), tetapi tak satu pun rencana aksi atau aksi yang dikhususkan memperbaiki politik alokasi dana bansos. Padahal, dari aspek kewenangan, pemerintah menjadi regulator tunggal dalam pengelolaan dana bansos. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri berwenang merumuskan dan menetapkan aturan teknis mengenai pedoman pemberian dana bansos itu.
Di tingkat lokal Permendagri No 32/2011 jo Permendagri No 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD sama sekali tak menutup ruang penyalahgunaan dana bansos di daerah. Padahal, pemerintah memiliki ruang diskresi yang sangat kuat menetapkan kriteria ketat terhadap pengelolaan dana bansos. Sayang, pemerintah tak mengambil pilihan itu.
Di tingkat kementerian/instansi vertikal, hal serupa terjadi. Pemerintah seolah-olah melanggengkan praktik penyelewengan dana bansos karena mungkin saja berkepentingan terhadap alokasi dana itu. Jamak dipahami bahwa bansos sering digunakan pemimpin kementerian/lembaga/pemda untuk kepentingan kegiatan politiknya. Sangat sulit mengukur keefektifan dan akuntabilitas penyaluran dana bansos itu.
Merujuk pada tujuan alokasi dana bansos dalam skema anggaran negara/daerah, sebetulnya praktik selama ini memang sarat penyimpangan. Bansos merupakan pemberian uang/barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dengan periode tertentu dan selektif serta bertujuan melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Ke tujuan semula
Pemerintah pusat sebagai regulator cenderung memberikan diskresi yang begitu besar kepada pemimpin lembaga/kepala daerah menentukan kepada siapa dana bansos diberikan. Padahal, di sinilah letak potensi penyalahgunaan kewenangan oleh pemimpin lembaga/kepala daerah, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan politik.
Fakta bahwa alokasi bansos yang setiap tahun mengalami peningkatan adalah bukti kuat bahwa instrumen ini sengaja dibuat dan dicitrakan sebagai bantuan untuk masyarakat dengan nama ”bantuan sosial”. Namun, dalam praktiknya, digunakan penguasa untuk kepentingan politiknya. Pemerintah pusat seyogianya melakukan evaluasi menyeluruh atas praktik pengelolaan dana bansos.
Dana bansos harus dikembalikan ke tujuan semula: membantu masyarakat yang rentan terhadap risiko sosial sehingga benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, bukan melanggengkan kekuasaan.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah tahun 2012 menemukan adanya kelemahan dalam pengendalian belanja bantuan sosial (bansos). Kelemahan itu sudah dimulai sejak penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban. Bahkan, dalam hasil pemeriksaan tahun anggaran 2012, ditemukan Rp 31,66 triliun bansos yang bermasalah (Kompas, 13/6).Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya mengamini temuan BPK itu. Ia menyatakan bahwa selama hampir sembilan tahun berkuasa, penyimpangan keuangan negara di sektor pengelolaan dana bansos masih terjadi. Di sektor lain penyimpangan serupa juga terjadi: sektor pengadaan barang dan jasa, pengelolaan pajak, dan perizinan.
Minim aksi
Fakta penyimpangan dana bansos ini begitu nyata terlihat dari beberapa kasus korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di pihak lain, terdapat beberapa hasil investigasi lembaga masyarakat sipil dalam penyaluran dana bansos yang dilaporkan ke KPK, tetapi tak menunjukkan perkembangan apa pun.
Biasanya penyimpangan dana bansos dilakukan menjelang pemilihan umum kepala daerah: banyak dimanfaatkan petahana sebagai sarana kampanye gratisan. Hasil investigasi dalam penyaluran dana bansos menjelang pilkada di Banten (ICW) dan DKI Jakarta (IBC) yang dilaporkan ke KPK menjadi contoh paling konkret betapa dana bansos sangat mudah diselewengkan.
Pengakuan presiden atas kelemahan dalam pengelolaan dana bansos yang mengarah pada penyimpangan dan korupsi tidak dijawab dengan sebuah kebijakan nyata. Sejak periode pertama pemerintahan SBY, dalam Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (RAN-PK), tak satu pun instrumen pencegahan korupsi di sektor pengelolaan dana bansos yang digagas.
Pada periode kedua presiden juga terlihat ”gagap” dalam memperbaiki mekanisme pengelolaan dana bansos. Tiga tahun berturut-turut (2011, 2012, dan 2013) presiden bahkan telah menghasilkan Inpres Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Inpres No 9/2011, Inpres No 17/2011, dan Inpres No 1/2013), tetapi tak satu pun rencana aksi atau aksi yang dikhususkan memperbaiki politik alokasi dana bansos. Padahal, dari aspek kewenangan, pemerintah menjadi regulator tunggal dalam pengelolaan dana bansos. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri berwenang merumuskan dan menetapkan aturan teknis mengenai pedoman pemberian dana bansos itu.
Di tingkat lokal Permendagri No 32/2011 jo Permendagri No 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD sama sekali tak menutup ruang penyalahgunaan dana bansos di daerah. Padahal, pemerintah memiliki ruang diskresi yang sangat kuat menetapkan kriteria ketat terhadap pengelolaan dana bansos. Sayang, pemerintah tak mengambil pilihan itu.
Di tingkat kementerian/instansi vertikal, hal serupa terjadi. Pemerintah seolah-olah melanggengkan praktik penyelewengan dana bansos karena mungkin saja berkepentingan terhadap alokasi dana itu. Jamak dipahami bahwa bansos sering digunakan pemimpin kementerian/lembaga/pemda untuk kepentingan kegiatan politiknya. Sangat sulit mengukur keefektifan dan akuntabilitas penyaluran dana bansos itu.
Merujuk pada tujuan alokasi dana bansos dalam skema anggaran negara/daerah, sebetulnya praktik selama ini memang sarat penyimpangan. Bansos merupakan pemberian uang/barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dengan periode tertentu dan selektif serta bertujuan melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Ke tujuan semula
Pemerintah pusat sebagai regulator cenderung memberikan diskresi yang begitu besar kepada pemimpin lembaga/kepala daerah menentukan kepada siapa dana bansos diberikan. Padahal, di sinilah letak potensi penyalahgunaan kewenangan oleh pemimpin lembaga/kepala daerah, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan politik.
Fakta bahwa alokasi bansos yang setiap tahun mengalami peningkatan adalah bukti kuat bahwa instrumen ini sengaja dibuat dan dicitrakan sebagai bantuan untuk masyarakat dengan nama ”bantuan sosial”. Namun, dalam praktiknya, digunakan penguasa untuk kepentingan politiknya. Pemerintah pusat seyogianya melakukan evaluasi menyeluruh atas praktik pengelolaan dana bansos.
Dana bansos harus dikembalikan ke tujuan semula: membantu masyarakat yang rentan terhadap risiko sosial sehingga benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, bukan melanggengkan kekuasaan.